Kisah Devadatta(1)-Dhammapada
Kisah Devadatta (1)
Anikkasavo kasavam,
yo vattham paridahissati,
apeto damasaccena,
na so kasavamarahati.
Yo ca vantakasav'assa,
silesu susamahito,
upeto damasaccena,
sa ve kasavamarahati.
Ia yang belum terbebas dari noda-noda batin,
yang tidak mampu mengendalikan nafsu,
dan ucapannya tidak benar,
tidaklah pantas menggenakan jubah kuning.
Ia yang telah terbebas dari noda-noda batin,
yang melaksanakan sila, nasfunya terkendali,
dan ucapannya benar,
maka, pantaslah ia mengenakan jubah kuning.
Sang Buddha mengucapkan ayat-ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan Devadatta.
Pada suatu ketika, dua murid utama Sang Buddha, biksu Sariputra dan biksu Maha Mogalana, pergi dari kota Savatthi ke kota Rajagraha. Di sana, penduduk Rajagraha mengundang mereka beserta 1.000 orang murid mereka untuk menerima dana makanan.
Pada kesempatan itu, seorang donatur membawa sepotong kain seharga 100.000 kepada panitia penyelenggara pemberian dana. Donatur itu berpesan kepada panitia, jika kekurangan dana maka juallah kain itu untuk mendapatkan dana tambahan, namun bila dana tidak kurang maka danakanlah kain itu kepada salah seorang biksu yang, menurut panitia, pantas menerimanya.
Pada hari pelaksanaan pemberian dana kepada para biksu, tidak terjadi kekurangan dana, maka sesuai interuksi, kain itu akan didanakan kepada salah seorang biksu yang hadir.
Karena biksu Sariputra dan biksu Maha Mogalana hanya berkunjung ke Rajagraha dan tidak menetap lama di sana, maka kain itu dipersembahkan kepada biksu Devadatta yang menetap di kota itu.
Devadatta segera membuat kain itu menjadi sepasang jubah dan dengan bangga memakainya. Lalu, beberapa orang biksu yang datang dari Rajagraha ke Savatthi untuk memberi sembah sujud kepada Sang Buddha, memberitahukan kepada Sang Buddha tentang Devadatta dan jubahnya yang terbuat dari kain seharga 100.000.
Sang Buddha lalu berkata bahwa bukan sekali ini saja Devadatta telah memakai jubah yang tak pantas ia pakai. Lalu Sang Buddha menghubungannya dengan sebuah kisah kehidupan masa lampau.
Dahulu kala, Devadatta pernah terlahir sebagai seorang pemburu gajah. Pada saat itu, di suatu hutan terdapat sekelompok gajah dalam jumlah yang besar. Suatu hari, pemburu itu mendengar kabar bahwa gajah-gajah itu akan bersujud bila bertemu dengan para Paccekabuddha.
Setelah mengetahui hal itu, pemburu itu mencuri jubah bagian atas dan memakainya, kemudian dengan tombak di tangannya, ia memasuki hutan dan menunggu kedatangan kawanan gajah di sebuah jalur yang biasa dilalui oleh kawanan gajah itu.
Beberapa saat kemudian, kawanan gajah mulai tampak, dan setelah dekat pemburu itu juga keluar dari tempat persembunyiannya. Kawanan gajah itu mengira bahwa pemburu yang ada di depan mereka adalah seorang Paccekabuddha, mereka pun bersujud untuk menghormatinya. Gajah itu menjadi mangsa empuk bagi pemburu itu. Dengan cara itulah, satu per satu, selama berhari-hari, pemburu gajah itu sehari membunuh seekor gajah yang berada di barisan paling akhir.
Pada saat itu Bodhisattva (Sang Buddha Sakyamuni) terlahir sebagai pemimpin kawanan gajah itu. Ia merasa pengikutnya semakin lama semakin berkurang jumlahnya, maka pimpinan gajah itu mulai menyelidiki dan mengamati kawannya dari barisan yang paling belakang.
Pimpinan gajah amat waspada, oleh karena itu, pada saat pemburu itu melemparkan tombak ke arahnya, ia mampu mengelaknya. Ia berhasil menangkap pemburu itu, dan pada saat hendak membantingkan tubuhnya ke tanah pimpinan gajah itu melihat jubah kuning. Karena melihat jubah kuning itu, pimpinan gajah melepaskan dan membiarkan si pemburu pergi.
Pemburu itu ditegur karena mencoba membunuh dengan mengelabui mereka dengan jubah kuning, dan tindakan seperti itu amatlah tidak terpuji. Pemburu itu tentulah orang yang sangat tidak pantas menggenakan jubah kuning itu.
Sang Buddha lalu mengucapkan kedua ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, banyak di antara para biksu yang mencapai kesucian sotapanna.
Dhammapada ayat 009 dan 010 bab Syair Berpasangan