Kisah Nanda-Dhammapada
Kisah Biksu Nanda
Yatha agaram ducchannam,
vutthi samativijjhati,
evam abhavitam cittam,
rago samativijjhati.
Yatha agaram succhannam,
vutthi na samativijjhati,
evam subhavitam cittam,
rago na samativijjhati.
Bagaikan hujan menembusi rumah yang beratap tipis,
demikian jugalah,
keserakahan menembusi pikiran yang tidak dijaga dengan benar.
Bagaikan hujan yang tidak dapat menembusi rumah yang beratap tebal,
demikian jugalah,
keserakahan tidak dapat menembusi pikiran yang dijaga dengan benar.
Sang Buddha mengucapkan ayat-ayat itu pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan biksu Nanda, sepupu Sang Buddha.
Pada saat Sang Buddha sedang berdiam di vihara Veluvana, di dekat kota Rajagraha, ayah-Nya, raja Suddhodana, terus-menerus mengundang Sang Buddha untuk berkunjung ke kota Kapilavatthu. Karena undangan itu, Sang Buddha memulai perjalanan ke sana bersama dengan 20.000 arahat.
Pada saat sampai di dekat Kapilavatthu, Sang Buddha mengisahkan sebuah kisah kehidupan masa lampau, Vessantara Jataka, kepada kumpulan kerabat-Nya.
Pada hari kedua, Sang Buddha dan siswa-siswa-Nya memasuki kota Kapilavatthu, lalu Sang Buddha mengucapkan sebuah syair yang dimulai dengan kalimat, "Seseorang seharusnya sadar dan tidak lalai..." Setelah mendengar syair itu, raja Suddhodana, ayah Sang Buddha, mencapai kesucian tingkat sotapanna.
Pada saat tiba di istana kerajaan, Sang Buddha mengucapkan sebuah syair yang dimulai dengan kalimat, "Seseorang seharusnya melatih sesuai Dhamma..." dan membuat raja Suddhodana mencapai kesucian tingkat kedua, sakadagami.
Setelah selesai makan dalam perjamuan makan di istana, Sang Buddha menceritakan sebuah kisah kehidupan masa lampau; Candakinnari Jataka, sehubungan dengan kemuliaan ibunda Rahula.
Pada hari ketiga, sepupu Sang Buddha, pangeran Nanda, sedang melangsungkan pernikahannya. Sang Buddha pergi ke tempat pesta itu berlangsung untuk menerima dana makanan, dan Ia menyerahkan mangkuk-Nya kepada pangeran Nanda. Setelah mangkuk itu diisi dengan makanan, Sang Buddha lantas pergi meninggalkan tempat itu tanpa membawa mangkuk-Nya. Terpaksalah pangeran Nanda mengikuti Sang Buddha sambil membawa mangkuk-Nya.
Pengantin wanita, putri Janapadakalyani, yang melihat pangeran Nanda mengikuti Sang Buddha segera menyusulnya, dan sambil menangis meminta pangeran Nanda untuk segera kembali. Sesampainya mereka di vihara, pangeran Nanda malah menjadi anggota Sangha.
Tak lama kemudian, Sang Buddha mulai menempati vihara Jetavana yang dibangun oleh Anathapindika di taman Jeta, yang berada tepat di luar bagian selatan kota Savatthi. Saat berdiam di vihara itu, biksu Nanda merasa tidak betah dan tidak bersungguh hati, karena ia tidak menemukan kebahagiaan selama menjadi seorang biksu, dan juga selalu teringat pesan putri Janapadakalyani agar ia segera kembali. Ia mengambil keputusan untuk melepaskan jubahnya dan kembali ke kehidupan berumah tangga.
Saat Sang Buddha mengetahui maksud hati biksu Nanda, dengan kesaktian-Nya, Sang Buddha memperlihatkan kepada biksu Nanda beberapa putri dewa dari surga Tavatimsa yang wajahnya lebih cantik beberapa kali lipat daripada putri Janapadakalyani.
Sang Buddha berjanji kepada biksu Nanda, seandainya biksu Nanda dengan tekun berlatih sesuai Dhamma maka Sang Buddha akan menghadiahkan putri-putri dewa itu kepadanya. Biksu Nanda pun menyetujui tawaran Sang Buddha.
Biksu-biksu lain mengejek biksu Nanda dengan berkata bahwa ia seperti kuda sewaan, berlatih Dhamma hanya untuk mendapatkan gadis-gadis cantik. Biksu Nanda merasa sangat terpukul dan malu. Maka, di dalam penyepiannya, ia berusaha sekeras mungkin mempraktikkan Dhamma, dan akhirnya mencapai kesucian arahat.
Sebagai seorang arahat, pikiran biksu Nanda telah terbebaskan dari segala noda batin dan kemelekatan, oleh karena itu, ia tidak menuntut janji Sang Buddha. Ia juga sadar bahwa sebenarnya sejak awal Sang Buddha sudah mengetahui apa yang akan terjadi kepada dirinya.
Biksu-biksu lainnya, yang tahu bahwa biksu Nanda tidak menyukai kehidupan biksu, bertanya lagi kepadanya tentang perasaannya. Biksu Nanda menjawab bahwa ia tidak lagi tertarik dengan kehidupan berumah-tangga. Biksu-biksu itu mengira biksu Nanda hanya bergurau, maka mereka bertanya kepada Sang Buddha. Mereka menceritakan tentang biksu Nanda, dan mengutarakan ketidakpercayaan mereka.
Sang Buddha lalu menjelaskan kepada mereka, bahwa dulu sifat biksu Nanda bagaikan atap rumah yang rusak, namun, kini atap itu telah diperbaiki.
Lalu Sang Buddha mengucapkan kedua ayat itu.
Dhammapada ayat 013 dan 014 bab Syair Berpasangan