Kisah Anathapindika - Dhammapada
Kisah Anathapindika
Papopi passati bhadram,
yava papam na paccati,
yada ca paccati papam,
atha papo papam passati.
Bhadropi passati papam,
yava bhadram na paccati,
yada ca paccati bhadram,
atha bhadro bhadrani passati.
Orang jahat masih dapat memperoleh kebahagiaan,
selama benih kejahatannya belum berbuah,
namun, saat benih karma buruknya berbuah,
ia harus menanggung akibat jahatnya.
Orang baik masih dapat tertimpa penderitaan,
selama benih kebajikannya belum berbuah,
namun, saat benih karma baiknya berbuah,
ia akan merasakan manfaat bajikannya.
Sang Buddha mengucapkan kedua ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, sehubungan dengan Anathapindika, orang kaya terkenal dari kota Savatthi.
Anathapindika adalah orang kaya yang membangun vihara Jetavana di sebelah selatan di luar kota Savatthi dengan biaya 54 krore (1 krore = 10 juta) dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Ia bukan hanya murah hati namun juga sangat berbakti kepada Sang Buddha.
Setiap hari ia pergi ke vihara Jetavana 3 kali untuk bersujud kepada Sang Buddha. Pada pagi hari ia mempersembahkan bubur, pada siang hari mempersembahkan makanan yang layak atau obat-obatan, dan pada malam hari mempersembahkan bunga-bungaan dan wewangian.
Setelah beberapa lama, Anathapindika jatuh bangkrut, namun karena ia adalah seorang sotapanna maka ia tidak terpengaruh oleh kesialan, dan ia tetap melanjutkan kegiatan sehari-harinya dalam berdana.
Pada suatu malam, arwah penjaga pintu rumah Anathapindika menjelma menjadi manusia dan menemuinya, lalu berkata, "Aku adalah arwah penjaga gerbang rumahmu. Kau telah mendanakan hartamu kepada pertapa Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Karena itulah kau kini menjadi orang miskin. Oleh karena itu, kau seharusnya tidak lagi berdana apapun kepada pertapa Gotama dan seharusnya mulai memperhatikan usahamu dan menjadi orang kaya lagi."
Kata-katanya demikian membuat Anathapindika mengusir arwah penjaga itu keluar dari rumahnya, dan sebagai seorang sotapana, arwah penjaga itu tidak dapat membantahnya dan harus segera meninggalkan tempatnya.
Arwah penjaga itu tidak tahu harus ke mana dan ingin kembali namun ia takut kepada Anathapindika. Maka, arwah penjaga itu mendatangi dewa Sakka, raja para dewa. Sakka menyarankan agar mula-mula ia kembali dengan baik-baik kepada Anathapindika, dan setelah itu, meminta maaf.
Dewa Sakka melanjutkan, "Ada sekitar 18 krore piutang para pedagang yang belum mereka lunasi kepada Anathapindika. Sekitar 18 krore dikubur oleh leluhur Anathapindika dan kini telah tersapu ke dalam samudera. Sekitar 18 krore lagi tanpa pemilik, terkubur di sebuah tempat. Pergi dan temukanlah semua harta itu dengan kekuatan batinmu dan letakkan semuanya ke dalam ruang Anathapindika. Setelah itu, mintalah maaf kepadanya."
Arwah penjaga itu berbuat sesuai petunjuk dewa Sakka, dan Anathapindika menjadi kaya raya lagi.
Pada saat arwah penjaga itu memberitahukan kepada Anathapindika tentang informasi dan petunjuk yang diberikan oleh dewa Sakka, tentang menemukan hartanya dari dalam bumi, dari samudera dan para peminjam, ia amat terkesan. Lalu Anathapindika membawa arwah penjaga itu menghadap Sang Buddha.
Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Seseorang mungkin saja tidak menikmati manfaat dari buah kebajikan, atau menderita akibat benih karma buruknya selama waktu tertentu. Namun, waktu pasti tiba saat benih karma buruk atau baiknya untuk berbuah dan matang."
Lalu Sang Buddha mengucapkan ayat-ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, arwah penjaga gerbang rumah Anathapindika itu mencapai kesucian tingkat sotapanna.
Dhammapada ayat 119 dan 120 bab Syair Kejahatan