Kisah Upasika Uttara - Dhammapada
Kisah Upasika Uttara
Akkodhena jine kodham,
asadhum sadhuna jine,
jine kadariyam danena,
saccena'likavidinam.
Atasi kemarahan dengan cinta kasih,
atasi kejahatan dengan kebajikan,
atasi kekikiran dengan kemurahan hati,
dan atasi kebohongan dengan kejujuran.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Veluvana, di dekat kota Rajagaha, sehubungan dengan seorang upasika yang bernama Uttara.
Uttara adalah putri dari seorang buruh tani yang bernama Punna. Punna bekerja untuk seorang kaya yang bernama Sumana di Rajagaha.
Pada suatu hari, Punna dan istrinya mempersembahkan dana makanan kepada biksu Sariputra sesaat setelah ia bangkit dari meditasi pencerapan mental yang mendalam (nirodha sampatti), dan benih kebajikan itu dengan seketika membuahkan hasil bagi mereka.
Suatu hari, Punna menemukan emas di ladang pada saat ia sedang membajak ladang dan raja mengangkatnya menjadi bankir kerajaan.
Pada suatu ketika, keluarga Punna mempersembahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para biksu selama tujuh hari, dan pada hari terakhir, setelah mendengar khotbah Sang Buddha, ketiga anggota keluarganya mencapai kesucian tingkat sotapanna.
Kemudian, Uttara menikah dengan putra Sumana. Keluarga Sumana bukanlah umat Buddhis sehingga Uttara tidak betah di rumah suaminya.
Uttara berkata kepada ayahnya, "Ayah, mengapa kau memasukkan aku ke dalam penjara? Di sini aku tidak melihat seorang biksu pun dan aku tidak memiliki kesempatan mempersembahkan apa pun kepada biksu."
Ayahnya iba padanya dan mengirimkan uang sebesar 15.000. Dengan uang itu, setelah mendapatkan izin dari suaminya, Uttara menyewa seorang pelacur untuk memenuhi kebutuhan suaminya. Sirima, yang terkenal sebagai pelacur paling cantik, disewanya untuk mengantikan posisinya selama 15 hari.
Selama masa itu, Uttara mempersembahkan dana makanan kepada Sang Buddha dan para biksu. Pada hari kelima belas, pada saat ia sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur, suaminya melihatnya dari jendela kamar tidur dan tersenyum.
Kemudian suaminya berkata dalam hati, "Betapa bodohnya dia. Ia tidak tahu bagaimana menikmati hidup. Ia hanya melelahkan diri dengan acara dana makanan."
Sirima melihat suaminya tersenyum dan lupa diri bahwa ia hanya istri bayaran dan ia merasa sangat cemburu kepada Uttara. Karena tidak mampu mengendalikan dirinya, Sirima pergi ke dapur dan mengambil sesendok penuh mentega panas dan hendak menuangkannya ke kepala Uttara.
Uttara melihat Sirima menghampirinya namun ia sama sekali tidak mencurigainya. Ia bahkan berpikir karena ada Sirima maka ia dapat mendengarkan Dhamma dan melakukan persembahan selama lima belas hari ini, serta melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Uttara pun amat berterima kasih kepada Sirima
Tiba-tiba Uttara menyadari bahwa Sirima telah dekat dengannya dan akan menuangkan mentega panas itu ke tubuhnya, maka ia meyakinkan dirinya sendiri, "Jika aku mempunyai niat buruk terhadap Sarima maka mentega panas itu akan membakarku, namun, jika aku tidak memiliki niat jahat terhadap dirinya maka aku tidak akan kepanasan."
Karena Uttara tidak mempunyai niat buruk terhadap Sirima, mentega panas yang dituangkan Sirima ke kepala Uttara hanya terasa seperti air dingin. Sirima pun menyangka bahwa menteganya telah menjadi dingin, dan saat ia kembali mengambil sesendok penuh mentega mendidih, pelayan-pelayan Uttara melabraknya dan memukulinya dengan keras. Uttara bergegas menghentikan mereka dan meminta mereka untuk menggosok badan Sirima dengan salep obat.
Sirima akhirnya menyadari posisinya yang sebenarnya dan ia menyesal telah melakukan kesalahan terhadap Uttara dan meminta maaf.
Uttara berkata kepada Sirima, "Aku mempunyai Ayah, aku harus bertanya kepadanya apakah aku harus menerima permintaan maafmu."
Sirima berkata bahwa ia siap menemui ayah Uttara dan meminta maaf kepadanya.
Uttara lalu menjelaskan, "Sirima, yang aku maksud dengan Ayahku bukan ayah kandungku, yang telah membawaku ke roda kelahiran ini. Yang aku maksud adalah Sang Buddha, yang telah membantuku menghentikan roda kelahiran, yang mengajarkan Dhamma kepadaku, Kesunyataan Mulia."
Sirima kemudian mengungkapkan keinginannya untuk bertemu dengan Sang Buddha, jadi ia harus melakukan persembahan dana makanan kepada Sang Buddha dan para biksu di rumah Uttara keesokan harinya.
Setelah selesai makan, Sang Buddha diberitahukan segala yang terjadi antara Sirima dan Uttara. Sirima pun mengakui bahwa ia telah melakukan kejahatan terhadap Uttara dan memohon kepada Sang Buddha menilai apakah Uttara harus memaafkannya atau tidak.
Sang Buddha bertanya kepada Uttara bagaimana perasaannya saat Sirima menuangkan mentega panas itu ke kepalanya.
Uttara menjawab, "Bhante, karena aku sangat berutang budi kepada Sirima maka aku tidak marah, tidak kehilangan kesabaran dan tidak berniat jahat kepadanya. Aku tetap memancarkan cinta kasihku kepadanya."
Sang Buddha berkata, "Bagus, bagus sekali, Uttara. Dengan tidak mempunyai kehendak jahat, kau akan bisa mengatasi orang yang telah berbuat salah terhadapmu. Dengan tidak berlaku kasar, kau akan bisa mengatasi orang yang berlaku kasar terhadapmu. Dengan kemurahan hati, kau akan bisa mengatasi orang kikir. Dengan kejujuran, kau bisa mengatasi orang yang berbohong."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha itu, Sirima dan lima ratus orang wanita lainnya mencapai kesucian tingkat sotapanna.
Dhammapada ayat 223 bab Syair Kemarahan