Sutra Jivaka
Seorang pendukung Sangha, Jivaka Komarabhacca, bertanya kepada Sang Buddha perihal membunuh makhluk hidup dan makan daging. Sang Buddha menjelaskan bahwa seorang biksu hanya makan daging jika ia tidak melihat, mendengar, dan menduga bahwa daging itu disajikan khusus untuknya.
Demikianlah yang telah kudengar.
Pada suatu hari, Sang Buddha berada di taman Ambavana milik Jivaka Komarabhacca, anak angkat dari seorang pangeran, di Rajagraha. Jivaka pergi menemui Sang Buddha. Setelah bertemu, ia menghormati Sang Buddha dan kemudian ia duduk.
Setelah itu ia berkata kepada Sang Buddha;
Bhante, ada hal yang aku dengar, bahwa mereka membunuh makhluk hidup untuk petapa Gotama, dan petapa Gotama dengan sadar memakan daging yang sengaja disediakan untuk Beliau.
Bhante, mereka yang mengatakan, bahwa mereka membunuh makhluk hidup untuk petapa Gotama, dan petapa Gotama dengan sadar memakan daging yang sengaja disedikan untuk Beliau, apakah perkataan mereka tentang Sang Buddha itu benar, dan tidak nyimpang dari ajaran?
Jivaka, perkataan mereka bahwa mereka membunuh makhluk hidup untuk petapa Gotama, dan petapa Gotama dengan sadar memakan daging yang sengaja disediakan untuk Beliau. Mereka tidak berkata seperti perkataanKu, dan menilaiKu dengan fitnahan.
Jivaka, Aku mengatakan bahwa terdapat 3 syarat** daging tak layak dimakan, yaitu, jika dilihat, didengar, dan diduga. Berdasarkan pada ke-3 syarat ini Aku nyatakan daging dapat layak dimakan.
Dalam 3 syarat;
'lihat' yaitu melihat adanya makhluk hidup atau hewan yang akan ditangkap, atau yang sudah tertangkap, atau akan dibunuh.
'dengar' yaitu mendengar kata-kata 'tangkap makhluk hidup itu', atau 'bunuh makhluk hidup itu', atau mendengar suara rintihan hewan yang tertangkap, atau yang sedang dibunuh.
'duga' yaitu muncul dugaan atau pikiran bahwa makhluk hidup itu sengaja ditangkap atau dibunuh untuk dipersembahkan kepada dirinya.
Jivaka, Aku mengatakan bahwa terdapat 3 syarat daging layak dimakan, yaitu, jika tidak dilihat, tidak didengar, dan tidak diduga.
Jivaka, seorang biksu hidup tergantung pada umat yang ada di perdesaan maupun di perkotaan. Ia hidup dengan pikiran yang diliputi oleh cinta kasih (Metha) yang dipancarkannya pada satu arah, dua arah, tiga arah, dan empat arah. Demikian ia mengarahkan pikirannya yang diliputi cinta kasih ke arah atas, ke bawah, dan ke samping. Ia hidup dengan pikiran yang diliputi cinta kasih yang tersebar luas, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa iri hati ke berbagai arah, hingga ke seluruh dunia.
Seorang perumah tangga, atau anak perumah tangga, setelah menemui beliau, ia mengundang beliau untuk makan pada keesokan hari.
Jivaka, biksu tersebut dapat memenuhi undangan itu bila ia mau. Menjelang pagi ia mengenakan jubah dan mengambil mangkuk (patta), lalu mendatangi rumah umat yang mengundangnya. Ia duduk di tempat yang telah disediakan, dan umat itu melayani beliau dengan makanan pilihan.
Namun, biksu itu tidak berpikir;
"Sangat baik sekali karena seorang perumah tangga melayani aku dengan makanan pilihan. Semoga, perumah tangga ini akan melayani aku lagi pada masa mendatang."
Hal itu sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya. Ia pun memakan hidangan itu tanpa terikat, tergiur, atau terpikat dengannya. Ia hanya waspada pada makanan itu dan melepaskan ikatan darinya.
Jivaka, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Apakah pada saat itu biksu itu berusaha mencelakai dirinya sendiri, atau ia berusaha mencelakai orang lain, atau ia berusaha mencelakai dirinya sendiri dan orang lain?
Tidak, Bhante.
Jivaka, bukankah pada saat itu biksu tersebut makan makanan yang tidak tercela?
Ya, Bhante. Aku telah mendengar hal seperti ini; orang yang diliputi oleh cinta kasih adalah brahma. Bhante, dalam hal ini akulah saksi, bahwa Sang Bhagava diliputi oleh cinta kasih.
Jivaka. Para Tathagata telah melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, akar-akarnya telah dicabut. Bagaikan pohon palem yang telah tumbang, demikian juga hal-hal buruk itu tidak akan muncul lagi. Jika hal ini yang kau maksud maka Aku setuju dengan perkataanmu.
Itulah yang aku maksudkan, Bhante.
Jivaka, seorang biksu hidup tergantung pada umat yang ada di perdesaan maupun di perkotaan. Ia hidup dengan pikiran yang diluputi oleh welas asih (Karuna) yang dipancarkannya pada satu arah, dua arah, tiga arah, dan empat arah. Demikian ia mengarahkan pikirannya yang diliputi welas asih ke arah atas, ke bawah, dan ke samping. Ia hidup dengan pikiran yang diliputi welas asih yang tersebar luas, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa iri hati ke berbagai arah, hingga ke seluruh dunia.
Seorang perumah tangga, atau anak perumah tangga, setelah menemui beliau, ia mengundang beliau untuk makan pada keesokan hari.
Jivaka, biksu tersebut dapat memenuhi undangan itu bila ia mau. Menjelang pagi ia mengenakan jubah dan mengambil mangkuk, lalu mendatangi rumah umat yang mengundangnya. Ia duduk di tempat yang telah disedikan, dan umat itu melayani beliau dengan makanan pilihan.
Namun, biksu itu tidak berpikir;
"Sangat baik sekali karena seorang perumah tangga melayani aku dengan makanan pilihan. Semoga, perumah tangga ini akan melayani aku pada masa mendatang."
Hal itu sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya. Ia pun memakan hidangan itu tanpa terikat, tergiur, atau terpikat dengannya. Ia hanya waspada pada makanan itu dan melepaskan ikatan darinya.
Jivaka, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Apakah pada saat itu biksu itu berusaha mencelakai dirinya sendiri, atau ia berusaha mencelakai orang lain, atau ia berusaha mencelakai dirinya sendiri dan orang lain?
Tidak, Bhante.
Jivaka, bukankah pada saat itu biksu tersebut makan makanan yang tidak tercela?
Ya, Bhante. aku telah mendengar hal seperti ini; orang yang diliputi oleh welas asih adalah brahma. Bhante, dalam hal ini akulah saksi, bahwa Sang Bhagava diliputi oleh welas asih.
Jivaka. Para Tathagata telah melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, akar-akarnya telah dicabut. Bagaikan pohon palem yang telah tumbang, demikian juga hal-hal buruk itu tidak akan muncul lagi. Jika hal ini yang kau maksud maka Aku setuju dengan perkataanmu.
Itulah yang aku maksudkan, Bhante.
Jivaka, seorang biksu hidup tergantung pada umat yang ada di perdesaan maupun di perkotaan. Ia hidup dengan pikiran yang diliputi oleh rasa simpati (Mudita) yang dipancarkannya pada satu arah, dua arah, tiga arah, dan empat arah. Demikian ia mengarahkan pikirannya yang meliputi rasa simpati ke arah atas, ke bawah, dan ke samping. Ia hidup dengan pikiran yang diliputi rasa simpati yang tersebar luas, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa iri hati ke berbagai arah, hingga ke seluruh dunia.
Seorang perumah tangga, atau anak perumah tangga, setelah menemui beliau, ia mengundang beliau untuk makan pada keesokan hari.
"Jivaka, biksu tersebut dapat memenuhi undangan itu bila ia mau. Menjelang pagi ia mengenakan jubah dan mengambil mangkuk, lalu mendatangi rumah umat yang mengundangnya. Ia duduk di tempat yang telah disediakan, dan umat itu melayani beliau dengan makanan pilihan.
Namun, biksu itu tidak berpikir;
"Sangat baik sekali karena seorang perumah tangga melayani aku dengan makanan pilihan. Semoga, perumah tangga ini akan melayani aku lagi pada masa mendatang."
Hal itu sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya. Ia pun memakan hidangan itu tanpa terikat, tergiur, atau terpikat dengannya. Ia hanya waspada pada makanan itu dan melepaskan ikatan darinya.
Jivaka, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Apakah pada saat itu biksu itu berusaha mencelakai dirinya sendiri, atau ia berusaha mencelakai orang lain, atau ia berusaha mencelakai dirinya sendiri dan orang lain?
Tidak, Bhante.
Jivaka, bukankah pada saat itu biksu tersebut makan makanan yang tidak tercela?
Ya, Bhante. Aku telah mendengar hal seperti ini; orang yang diliputi oleh rasa simpati adalah brahma. Bhante, dalam hal ini akulah saksi, bahwa Sang Bhagava diliputi oleh rasa simpati.
Jivaka. Para Tathagata telah melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, akar-akarnya telah dicabut. Bagaikan pohon palem yang telah tumbang, demikian juga hal-hal buruk itu tidak akan muncul lagi. Jika hal ini yang kau maksud maka Aku setuju dengan perkataanmu.
Itulah yang aku maksudkan, Bhante.
Jivaka, seorang biksu hidup tergantung pada umat yang ada di perdesaan maupun di perkotaan. Ia hidup dengan pikiran yang diliputi oleh keseimbangan batin (Upeksa) yang dipancarkannya pada satu arah, dua arah, tiga arah, dan empat arah. Demikian ia mengarahkan pikirannya yang diliputi keseimbangan batin ke arah atas, ke bawah, dan ke samping. Ia hidup dengan pikiran yang diliputi keseimbangan batin yang tersebar luas, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa iri hati ke berbagai arah, hingga ke seluruh dunia.
Seorang perumah tangga, atau anak perumah tangga, setelah menemui beliau, ia mengundang beliau untuk makan pada keesokan hari.
Jivaka, biksu tersebut dapat memenuhi undangan itu bila ia mau. Menjelang pagi ia mengenakan jubah dan mengambil mangkuk, lalu mendatangi rumah umat yang mengundangnya. Ia duduk di tempat yang telah disediakan, dan umat itu melayani beliau dengan makanan pilihan.
Namun, biksu itu tidak berpikir;
"Sangat baik sekali karena seorang perumah tangga melayani aku dengan makanan pilihan. Semoga, perumah tangga ini akan melayani aku lagi pada masa mendatang."
Hal itu sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya. Iapun memakan hidangan itu tanpa terikat, tergiur, atau terpikat dengannya. Ia hanya waspada pada makanan itu dan melepaskan ikatan darinya.
Jivaka, bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Apakah pada saat itu biksu itu berusaha mencelakai dirinya sendiri, atau ia berusaha mencelakai orang lain, atau ia berusaha mencelakai dirinya sendiri dan orang lain?
Tidak, Bhante.
Jivaka, bukankah pada saat itu biksu tersebut makan makanan yang tidak tercela?
Ya, Bhante. Aku telah mendengar hal seperti ini; orang yang diliputi oleh keseimbangan batin adalah brahma. Bhante, dalam hal ini akulah saksi, bahwa Sang Bhagava diliputi oleh keseimbangan batin.
Jivaka. Para Tathagata telah melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, akar-akarnya telah dicabut. Bagaikan pohon palem yang telah tumbang, demikian juga hal-hal buruk itu tidak akan muncul lagi. Jika hal ini yang kau maksud maka Aku setuju dengan perkataanmu.
Itulah yang aku maksudkan, Bhante.
Jivaka, ia yang membunuh makhluk hidup untuk Sang Buddha atau muridNya adalah menimbun banyak karma buruk (Apunna) dengan 5 cara, yaitu, ketika ia berkata;
"Pergi, tangkap seekor binatang."
Inilah cara pertama ia menimbun banyak karma buruk.
Selanjutnya, binatang yang tertangkap atau terjerat itu menderita kesakitan, merasakan ketakutan dan kesedihan. Inilah cara kedua ia menimbun banyak karma buruk.
Begitu pula saat ia berkata;
"Pergi, bunuh binatang itu."
Inilah cara ketiga ia menimbun banyak karma buruk.
Selanjutnya, saat binatang yang dibunuh itu merasakan ketakutan dan kesedihan. Inilah cara keempat ia menimbun banyak karma buruk.
Begitu pula ia memberikan kepada Tathagata atau muridNya sesuatu yang tidak pantas untuk dimakan. Inilah cara kelima ia menimbun banyak karma buruk.
Jivaka, ia yang membunuh makhluk hidup untuk Tathagata atau muridNYa adalah menimbun karma buruk dengan lima cara tersebut.
Selesai Sang Buddha menjelaskan, Jivaka Komarabhacca berkata kepada Sang Buddha;
Bhante, sangat menakjubkan. Bhante, sesungguhnya para biksu makan makanan yang pantas. Bhante, sesungguhnya para biksu makan makanan yang tidak tercela.
Bhante, sangat baik. Bhante, sangat baik. Semoga Bhante menjadi pelindungku dan menerimaku sebagai Upasaka sejak hari ini hingga akhir hidupku.