Kisah 500 Biksu-Dhammapada
Kisah Lima Ratus Biksu
Kumbhupamam kayam imam viditva,
nagarupam cittam idam thapetva,
yodhetha maram pannavudhena,
jitan ca rakkhe anivesano siya.
Menyadari bahwa tubuh ini rapuh bagaikan pot bunga,
dan membangun pikiran sekokoh benteng,
melawan mara dengan bersenjatakan pengetahuan,
menjaga pikiran, dan bebas dari kemelekatan**.
Tidak melekat pada jhana dan ketenangan, namun melangkah lebih jauh dengan meditasi perenungan hingga mencapai kesucian arahat.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan lima ratus biksu.
Suatu hari, di Savatthi, 500 biksu setelah mendapatkan petunjuk meditasi untuk mencapai kearahatan dari Sang Buddha, pergi ke sebuah desa besar yang berjarak 100 yojana (1500 km). Masyarakat mengatur dan memberikan tempat duduk serta melayani mereka dengan nasi bubur berserta beragam makanan yang lezat. Kemudian masyarakat menanyakan tujuan mereka, dan mereka berkata bahwa mereka sedang mencari sebuah tempat yang cocok.
Masyarakat memohon kepada mereka, "Yang Arya, maukah kalian tinggal dekat sini selama 3 bulan ke depan? Kami juga ingin berlindung kepada Triratna dan melaksanakan sila di bawah didikan kalian."
Saat masyarakat tahu mereka menerimanya, mereka berkata, "Yang Arya, tak jauh dari sini terdapat sebuah hutan. Maukah kalian tinggal di sana?"
Masyarakat pun menuntun mereka ke hutan itu dan kemudian para biksu tinggal di sana.
Dewa-dewa yang tinggal di hutan itu berpikir, "Biksu-biksu suci telah datang ke hutan ini, dan mereka berdiam di sini. Tidaklah pantas kalau kita dan keluarga kita tinggal di atas pepohonan."
Para dewa pun turun dari pepohonan, duduk di tanah. Mereka mengira bahwa para biksu itu hanya akan bermalam semalam saja di sana dan akan pergi keesokan harinya. Namun, keesokan harinya, para biksu mendatangi desa untuk menerima dana makanan dan kembali ke hutan itu.
Para dewa berpikir, "Biku-biksu itu pasti telah diundang oleh seseorang esok hari, maka mereka kembali lagi. Hari ini mereka tak terlihat akan pergi, tetapi mungkin besok mereka akan pergi."
Dengan cara demikian dewa-dewa itu hidup di permukaan tanah selama 2 minggu. Mereka lalu berunding, "Kelihatannya para biksu akan berdiam di sini selama 3 bulan dan sementara mereka tinggal di sini akan tidak pantas untuk kita dan keluarga kita tinggal di atas pohon-pohon. Hidup selama 3 bulan di tanah sangat sulit. Harus ada tindakan untuk membuat para biksu itu mengangkat kaki dari sini."
Para dewa mulai menampakkan sosok kepala tak bertubuh dan tubuh tak berkepala, dan mereka juga memperdengarkan suara-suara hantu di beberapa tempat di mana biksu sering berada di siang maupun malam hari dan di tikungan-tikungan jalan.
Kebetulan sekali, semua biksu menderita influenza, bersin-bersin, batuk dan lainnya. Para biksu bertanya-tanya satu sama lain untuk mencari tahu siapa yang menularkan bersin-bersin, batuk dan lainnya.
Akhirnya, mereka mengetahui bahwa ada yang pernah melihat kepala tak bertubuh di ujung tikungan jalanan, dan beberapa biksu pernah melihat tubuh tak berkepala di tempat mereka berada di malam hari, sementara biksu lainnya pernah mendengar suara-suara hantu di tempat mereka berada di siang hari.
Mereka memutuskan bahwa tempat itu haruslah ditinggalkan karena tidak nyaman untuk mereka tinggali dan kembali ke tempat Sang Buddha berada. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu, menghadap Sang Buddha, bersujud, lalu duduk di satu sisi.
Sang Buddha bertanya kepada mereka, "Para biksu. Apakah kalian tidak cocok tinggal di sana?"
"Tidak, Bhante. Orang-orang yang tinggal di sana akan melihat penglihatan yang menyeramkan dan merasa sangat tidak nyaman. Oleh karena itu, kami harus memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan kami pun meninggalkan tempat itu dan datang kepada-Mu."
"Para biksu. Kalian haruslah kembali ke tempat itu."
"Itu tidak mungkin, Banthe."
"Para biksu. Dulu kalian pergi ke sana tanpa senjata. Kini bawalah dan pergilah."
"Apakah senjata kami, Bhante?"
Sang Buddha berkata, "Akan Kuberikan senjata itu kepada kalian, ambilah dan pergilah."
Sang Buddha pun mengajarkan Sutra Metha yang diawali dengan kata, "Karaniyam atthakusalena, yantam santam padamabhisamecca, sakko uju ca suhuju ca, suvaco c'assa mudu anatimani**."
Inilah yang harus dilakukan, oleh orang yang ahli dalam kebajikan, dan tahu Jalan Kedamaian; ia harus mampu, jujur dan sangat jujur, rendah hati, lemah lembut, tidak sombong.
Lalu Sang Buddha berkata, "Para biksu. Lafalkan ini mulai saat berada di hutan di luar daerah petapaan, hingga memasuki kediaman kalian." Setelah selesai, Sang Buddha membubarkan mereka.
Mereka pun mohon diri setelah terlebih dahulu bersujud kepada Sang Buddha, kemudian memulai perjalanan, dan tiba di tempat tujuan. Mereka bersama-sama melafal Sutra itu di luar daerah petapaan hingga memasuki hutan, dan disambut dengan niat yang baik oleh para dewa. Para dewa memohon kepada para biksu untuk mengizinkan mereka membawakan mangkuk dan jubah mereka, serta memijat mereka.
Para biksu dilindungi dengan baik di mana pun juga, dan mereka hidup bersama-sama. Tidak ada lagi suara-suara hantu, dan mereka mulai hidup dengan damai dan tenang.
Para biksu duduk di tempat mereka masing-masing untuk melewati siang dan malam, mereka mengarahkan pikiran mereka kepada pengetahuan spiritual dan mengamati tubuh yang rapuh dan tidak kekal.
Sang Buddha yang sedang berada di Aula Keharuman-Nya mengetahui bagaimana para biksu itu mengusahakan pengetahuan spiritualnya, Ia berkata kepada mereka, "Para biksu. Karena kerapuhan dan ketidakkekalannya, tubuh ini bagaikan pot bunga yang belum dibakar."
Setelah berkata demikian, Sang Buddha memancarkan sinar keagungan hingga berjarak 100 yojana, dan muncul jelmaan-Nya bersila dan memancarkan 6 jenis sinar gemilang di hadapan mereka.
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, ke-500 biksu itu mencapai kesucian arahat.
Dhammapada ayat 040 bab Syair Pikiran