Kisah Biksu Mahakala-Dhammapada
Kisah Bisku Mahakala
Subhanupassim viharantam,
indriyesu asamvutam,
bhojanamhi mattannum,
kusitam hinaviriyam,
tam ve pasahati Maro,
vato rukkhamva dubbalam.
Asubhanupassim viharantam,
indriyesu susamvutam,
bhojanamhi ca mattannum,
saddham araddhaviriyam,
tam ve nappasahati Maro,
vato selamva pabbatam.
Ia yang selalu memikirkan hal-hal yang menyenangkan,
yang nafsunya tidak terkendali,
tak terbatas makannya,
dan juga malas dan tidak bersemangat,
pasti akan dikuasai oleh Mara,
bagaikan badai yang menumbangkan pohon yang lapuk.
Ia yang selalu memperhatikan kekotoran jasmani,
yang nafsunya terkendali,
terbatas makannya,
penuh keyakinan dan bersemangat,
pasti tidak akan dikuasai oleh Mara,
bagaikan badai yang tidak dapat mengoyahkan gunung.
Sang Buddha mengucapkan ayat-ayat ini pada saat berada di kota Setabya, sehubungan dengan Mahakala dan saudaranya Culakala.
Mahakala dan Culakala adalah saudara sekaligus pedagang di kota Setabya. Pada suatu ketika, mereka berpergian untuk berjualan, kebetulan mereka mempunyai waktu luang untuk mendengarkan khotbah dari Sang Buddha.
Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Mahakala memohon kepada Sang Buddha untuk dapat bergabung dengan anggota Sangha. Mahakala dan Culakala kemudian ditabiskan menjadi biksu. Namun, tujuan Culakala menjadi biksu hanya karena ia ingin mengajak saudaranya, Mahakala, keluar dari persamuan biksu.
Mahakala amat serius dalam melaksanakan pertapaan di pemakaman (sosanika dhutinga), dan dengan tekun bermeditasi pada pelapukan dan ketidakkekalan. Akhirnya, ia memperoleh pandangan terang dan mencapai kesucian arahat.
Kemudian, Sang Buddha dengan murid-murid-Nya, termasuk kedua saudara itu, kebetulan berdiam di dalam hutan Simsapa, di dekat Setabya. Pada saat tinggal di sana, mantan istri-istri Culakala mengundang Sang Buddha berserta murid-murid-Nya ke rumahnya. Culakala pergi terlebih dahulu seorang diri ke sana untuk mempersiapkan dan mengatur tempat duduk untuk Sang Buddha dan murid-murid-Nya. Setelah jamuan makan selesai, Culakala melepaskan jubah dan kembali ke kehidupan berumah tangga.
Hari berikutnya, mantan istri-istri Mahakala mengundang Sang Buddha dan murid-murid-Nya berkunjung ke rumahnya. Mereka berharap, dengan meniru aksi yang dilakukan istri-istri Culakala agar Mahakala dapat kembali kepada mereka.
Setelah jamuan makan selesai, mantan istri-istri Mahakala meminta Sang Buddha untuk mengizinkan Mahakala menetap di sana untuk menyampaikan terima kasih (anumodana; tanda terima kasih atas perbuatan baik yang telah dilakukan seseorang. Sang Buddha biasanya ber-anumodana dengan memberikan kotbah Dhamma.). Sang Buddha menyetujuinya dan kemudian Ia beserta murid-murid-Nya, terkecuali Mahakala, pergi.
Ketika sampai di gerbang desa, para biksu mengungkapkan ketidakpuasan dan kecemasan mereka. Mereka tidak puas karena Mahakala diizinkan menetap di sana dan khawatir bahwa Mahakala akan berakhir sama seperti saudaranya, Culakala, yang meninggalkan kebiksuan karena dihasut oleh istri-istrinya.
Kepada mereka Sang Buddha mengatakan bahwa kedua saudara itu tidak sama. Culakala mengemari kesenangan indria, malas dan lemah. Ia bagaikan pohon yang lapuk. Sementara, Mahakala sangat rajin, teguh, dan kuat dalam meyakini Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ia bagaikan gunung.
Lalu Sang Buddha mengucapkan ayat-ayat itu.
Sementara itu, di rumah Mahakala, mantan istri-istri Mahakala mengelilinginya dan berusaha menanggalkan jubah kuningnya. Sang biksu, yang mengendus niat jahat mereka, berdiri dan, dengan menggunakan kekuatan batinnya, ia melayang menembusi atap rumah ke atas langit terbuka. Ia kemudian mendarat di depan Sang Buddha pada saat Sang Buddha selesai mengucapkan kedua ayat itu.
Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, semua kumpulan biksu itu mencapai kesucian sotapanna.
Dhammapada ayat 007 dan 008 bab Syair Berpasangan