Kisah Vitatubha - Dhammapada
Kisah Vitatubha
Pupphani heva pacinantam,
byasattamanasam naram,
suttam gamam mahoghova,
maccu adaya gacchati.
Bagaikan orang memilih bunga,
seseorang yang pikirannya melekat kepada nafsu indria,
akan dibawa oleh Kematian,
seperti banjir besar menyapu sebuah desa yang tertidur.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan Vitatubha, putra raja Pasenadi dari kerajaan Kosala.
Raja Pasenadi dari Kosala yang berharap melangsungkan pernikahan dengan suku Sakya, mengirimkan beberapa orang utusan ke kota Kapilavatthu untuk meminang salah seorang tuan putri suku Sakya.
Karena tidak ingin menyinggung perasaan raja Pasenadi, pangeran suku Sakya menyambut permintaan dari raja, namun bukannya mengirimkan seorang tuan putri tetapi mengirimkan seorang gadis cantik yang lahir dari hubungan raja Mahanama dengan seorang pelayan wanita.
Raja Pasenadi mengangkat gadis cantik itu menjadi salah satu ratu utamanya dan tak lama kemudian lahirlah seorang putra. Putra itu diberi nama Vitatubha.
Pada saat pangeran berusia 16 tahun, ia diutus untuk bertemu dengan raja Mahanama dan para pangeran suku Sakya. Di sana ia disambut dengan baik namun semua tuan putri suku Sakya yang lebih muda dari Vitatubha telah dikirim ke sebuah pedesaan, itu artinya mereka tidak menghormati Vitatubha.
Setelah menginap beberapa hari di Kapilavatthu, Vitatubha beserta rombongannya pulang. Tak lama setelah mereka pergi, seorang pelayan wanita membersihkan tetesan susu di tempat yang diduduki Vitatubha.
Pelayan itu mengutuk dan memakinya, "Ini adalah tempat yang pernah diduduki oleh seorang putra pelayan."
Pada saat yang bersamaan, salah seorang dari rombongan Vitatubha kembali untuk mengambil sesuatu yang tertinggal di tempat itu. Ia mendengar ucapan pelayan itu. Pelayan itu juga memberitahukan kepadanya bahwa ibu Vitatubha adalah Vasabhakhattiya, putri dari seorang pelayan milik raja Mahanama.
Pada saat orang itu memberitahukan kepada Vitatubha tentang hal itu, ia amat marah dan bersumpah akan membalas dendam kepada kaum Sakya.
Demikianlah, sesuai dengan ikrarnya, pada saat menjadi raja, ia menyerang kaum Sakya dan membantai mereka semua, kecuali beberapa pengikut Mahanama dan beberapa orang lainnya.
Pada perjalanan pulangnya, Vitatubha dan pasukannya berkemah di tepi sungai Aciravati. Malam harinya, hujan turun lebat menguyur daerah dataran tinggi negeri itu semalaman, air sungai meluap dan menerjang ke bawah dengan kekuatan dasyat, menyapu Vitatubha beserta pasukannya ke dalam lautan.
Setelah mendengar kedua peristiwa itu, Sang Buddha menjelaskan kepada para biksu bahwa kerabatnya, para pangeran suku Sakya, pada sebuah kehidupan masa lampau, mereka menaburkan racun ke dalam air dan membunuh banyak ikan. Akibatnya pada kehidupan sekarang ini, para pangeran suku Sakya mati dibantai secara massal.
Sehubungan dengan peristiwa Vitatubha dan pasukannya, Sang Buddha berkata, "Seperti sebuah banjir besar menyapu semua penduduk di desa yang tertidur, demikian juga, kematian membawa semua makhluk yang mendambakan nafsu indria."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu.
Dhammapada ayat 047 bab Syair Bunga