Kisah Kukkutamitta - Dhammapada
Kisah Kukkutamitta
Panimhi ce vano nassa,
hareyya panina visam,
nibbanam visamanveti,
natthi papam akubbato.
Jika tak ada luka di tangan,
seseorang boleh memegang racun,
racun tidak berpengaruh terhadap orang yang tak terluka,
tidak akan ada derita bagi orang yang tidak berniat jahat.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Veluvana, di dekat kota Rajagaha, sehubungan dengan Kukkutamitta, si pemburu beserta keluarganya.
Pada suatu ketika, di Rajagaha terdapat seseorang yang kaya raya yang anak perempuannya telah mencapai kesucian tingkat sotapanna pada saat masih kecil.
Pada suatu hari, Kukkutamitta, seorang pemburu, datang ke kota itu dengan mengendarai sebuah kereta untuk menjual daging rusa. Begitu melihat Kukkutamitta, putri orang kaya itu jatuh cinta kepadanya seketika itu juga. Ia mengikutinya, menikah dengannya dan mereka tinggal di sebuah desa kecil. Dari perkawinan itu, lahirlah 7 orang putra dan setelah cukup umur, putra-putra mereka menikah.
Pada suatu dini hari, Sang Buddha memperhatikan dunia dengan menggunakan kekuatan batin-Nya dan mengetahui bahwa Kukkutamitta beserta anak-anak dan menantu-menantunya akan segera mencapai kesucian sotapanna.
Maka, Sang Buddha memasuki sebuah hutan tempat di mana Kukkutamitta telah memasang perangkap. Sang Buddha meninggalkan jejak kaki-Nya dekat dengan perangkap itu dan duduk di tempat teduh berumput yang tidak jauh dari perangkap itu.
Pada saat Kukkutamitta datang, ia melihat tidak ada hewan yang terjebak. Ia melihat jejak kaki dan menduga bahwa seseorang datang mendahuluinya dan melepaskan hewan yang terjebak.
Maka, saat ia melihat Sang Buddha di tempat teduh berumput itu, ia menganggap-Nya sebagai orang yang telah mebebaskan hewan yang terjebak di perangkapnya dan meledaklah amarahnya.
Kukkutamitta mengambil busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha, namun pada saat ia menarik busurnya, ia menjadi tak bergerak dan tetap pada posisinya bagaikan patung.
Putra-putra Kukkutamitta menyusulnya dan menemukannya. Mereka juga melihat Sang Buddha yang berada di jarak tertentu dan berpikir bahwa Sang Buddha pastilah musuh ayah mereka.
Mereka juga mengambil busur dan panah mereka masing-masing untuk memanah Sang Buddha. Namun mereka semua juga menjadi tak bergerak dan tetap berada pada posisi mereka masing-masing.
Pada saat Kukkutamitta dan putra-putranya tidak pulang ke rumah, istrinya menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan 7 menantunya.
Melihat Kukkutamitta dan anak-anaknya memegang panah yang diarahkan ke Sang Buddha, istrinya mengangkat kedua tangannya dan berteriak, "Jangan bunuh Ayahku."
Saat Kukkutamitta mendengar perkataan istrinya, ia berpikir, "Pasti dia adalah mertuaku."
Sedangkan anak-anaknya berpikir, "Dia pasti adalah kakek kami."
Kemudian, perasaan cinta kasih pun meliputi mereka. Lalu istrinya berkata kepada mereka semua, "Singkirkan busur dan anak panah kalian dan bersujud kepada Ayahku."
Saat itu, Sang Buddha tahu bahwa pikiran Kukkutamitta dan putra-putranya telah melembut dan Ia berharap mereka mau meletakkan busur dan anak panah mereka.
Setelah meletakkan busur dan anak panah, mereka bersujud kepada Sang Buddha dan Sang Buddha membabarkan Dhamma kepada mereka. Setelah mendengarkan ajaran Sang Buddha, Kukkutamitta beserta semua anak-anak dan menantu-menantunya, semuanya berjumlah 15 orang, mencapai kesucian sotapanna.
Sang Buddha kemudian kembali ke vihara dan menceritakan kepada biksu Ananda dan biksu-biksu lainnya tentang Kukkutamita, si pemburu, dan keluarganya mencapai kesucian sotapana di pagi hari itu.
Para biksu bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, apakah istri pemburu itu yang seorang sotapanna tetap tidak bersalah karena pembunuhan, jika ia memberikan jaring, busur dan anak panah untuk suaminya saat suaminya akan pergi berburu?"
Sang Buddha menjawab pertanyaan itu, "Para biksu. Para sotapanna tidak lagi membunuh, mereka tidak lagi berharap orang lain terbunuh. Istri pembunuh itu hanya patuh untuk mengambilkan suaminya alat-alat berburu. Seperti tangan yang tidak ada luka tidak akan terpengaruh oleh racun, demikian juga halnya, karena ia tidak berniat berbuat kejahatan maka ia tidak berbuat jahat."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu.
Dhammapada ayat 124 bab Syair Kejahatan