Kisah Seorang Menteri - Dhammapada
Kisah Menteri Santati
Alankato cepi samam careyya,
santo danto niyato brahmacari,
sabbesu bhutesu nidhaya dandam,
so brahmano so samano sa bhikkhu.
Walaupun ia digoda, namun ia tetap tenang,
bebas dari kekotoran batin dan inderanya terkendali,
jika ia mencapai pencerahan, suci dan menyingkirkan permusuhan terhadap siapa pun,
sesungguhnya, ia adalah seorang brahmana, samana, dan biksu.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, sehubungan dengan Santati, salah seorang menteri raja Pasenadi dari kerajaan Kosala.
Pada suatu ketika, menteri Santati kembali dari aksi penumpasan gerombolan pemberontak yang terjadi di perbatasan. Raja Pasenadi sangat terkesan kepadanya sehingga raja menghargainya dengan menghadiahkannya kekayaan dan kemegahan beserta dengan seorang penari wanita untuk menghiburnya selama 7 hari.
Selama 7 hari, menteri itu menikmati segala kegemarannya, mabuk-mabukan, dan bergembira dengan penari belia itu. Pada pagi hari ke-7, dengan mengendarai gajah kerajaan berhiaskan permata, menteri itu pergi ke tepi sungai untuk mandi.
Di tengah perjalanan, menteri itu bertemu Sang Buddha yang sedang berkeliling menerima dana makanan. Karena mabuk, menteri itu memberi hormat kepada Sang Buddha dengan seadanya. Sang Buddha tersenyum dan biksu Ananda bertanya kepada Sang Buddha mengapa Ia tersenyum.
Sang Buddha berkata kepada biksu Ananda, "Ananda, menteri ini akan mencari-Ku hari ini juga, dan setelah Aku memberikan ajaran singkat kepadanya, ia akan menjadi arahat. Setelah itu ia akan parinibbana."
Menteri Santati dan rombongannya menghabiskan waktu di tepi sungai, mandi, makan, minum-minum, dan benar-benar menikmatinya. Pada sore harinya, menteri dan rombongannya pergi ke sebuah taman untuk minum-minum dan menghibur diri dengan penari itu.
Penari itu sendiri mencoba memberikan hiburan terbaiknya untuk menteri itu. Selama seminggu ini ia mengurangi porsi makannya untuk menjaga kelangsingan tubuhnya.
Pada saat sedang menari, ia diserang sakit dan terjatuh, dan seketika itu juga ia meninggal dunia dengan mata dan mulutnya terbuka lebar. Menteri itu terkejut dan sangat cemas. Dalam keadaan tertekan itu ia mencoba berpikir untuk mencari perlindungan dan teringat kepada Sang Buddha.
Menteri Santati pergi mengunjungi Sang Buddha dengan ditemani bawahan-bawahannya, dan ia menceritakan kepada Sang Buddha tentang kesedihan dan kekecewaan yang ia derita karena kematian mendadak dari penari itu.
Menteri itu berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, tolong singkirkanlah penderitaanku. Jadilah pelindungku, agar aku dapat memperoleh kedamaian pikirian."
Sang Buddha berkata kepada menteri itu, "Yakinlah, putra-Ku, kau telah datang kepada seseorang yang dapat menolongmu, yang dapat menghiburmu, dan melindungimu. Jumlah tetesan air mata yang telah kau teteskan karena kematian penari ini selama kelahiran yang berulang-ulang sudah melebihi jumlah tetesan air di semua samudera."
Sang Buddha lalu memberikan petunjuk kepada menteri itu dengan sebuah syair yang berbunyi; "Di masa lampau telah ada kemelekatanmu kepada keinginan. Singkirkanlah itu. Di masa mendatang, jangan biarkan kemelekatan seperti itu ada padamu. Jangan juga berlabuh pada kemelekatan pada masa kini. Dengan tiadanya kemelekatan, nafsu keinginan pada dirimu akan lenyap dan kau akan mencapai nibbana."
Setelah mendengar petunjuk itu, menteri Santati mencapai kearahatan. Lalu, mengetahui bahwa masa hidupnya akan segera berakhir, ia berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, izinkanlah aku memasuki parinibbana karena sudah waktunya."
Sang Buddha menyetujuinya, maka menteri Santati melayang setinggi 7 pohon palem di atas langit dan di sana, sambil bermeditasi pada unsur api, ia parinibbana. Api menyala pada tubuhnya, darah dan dagingnya terbakar habis dan sisa-sisa tulangnya jatuh dari langit ke sepotong kain bersih yang direntangkan para biksu atas petunjuk Sang Buddha.
Pada suatu pertemuan, para biksu bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, menteri itu parinibbana dengan pakaian mewah, apakah ia termasuk seorang pertapa (samana) atau brahmana?"
Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para biksu. Putra-Ku itu dapat dipanggil dengan pertapa maupun brahmana."
Lalu Sang Buddha mengucapaka ayat itu.
Dhammapada ayat 142 bab Syair Hukuman