Kisah Biksu Angulimala - Dhammapada
Kisah Biksu Angulimala
Yassa papam katam kammam,
kusalena pidhiyati,
so'mam lokam pabhaseti,
abbha muttova candima.
Ia yang berbuat kebajikan,
meninggalkan kejahatan yang pernah diperbuat,
maka ia akan menerangi dunia dengan sinar kebijaksanaan,
bagaikan rembulan yang terbebas dari awan.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, sehubungan dengan biksu Angulimala.
Biksu Angulimala adalah putra dari Kepala Pendeta dalam istana raja Pasenadi dari kerajaan Kosala. Nama aslinya adalah Ahimsaka. Pada saat cukup umur, ia dikirim ke kota Takkasila, kota yang terkenal sebagai Kota Pelajar.
Ahimsaka amat cerdas dan taat kepada gurunya. Tak heran jika ia disayangi oleh guru dan istrinya. Karena itu, banyak teman-teman sekelasnya yang iri hati kepadanya.
Teman-temannya mendatangi guru mereka dan memfitnah bahwa Ahimsaka mempunyai niat jahat terhadap dirinya. Awalnya sang guru tidak percaya pada kata-kata mereka, namun, setelah berulang-ulang mendengarnya ia mulai percaya. Ia pun bersumpah untuk mengenyahkan Ahimsaka.
Sang guru tahu bahwa jika membunuh Ahimsaka akan mencoreng nama baiknya sendiri, maka ia menyusun sebuah rencana yang lebih keji daripada membunuhnya. Ia berkata kepada Ahimsaka bahwa jika ia berhasil membunuh 1.000 orang, baik pria maupun wanita, maka ia akan memberikan kepadanya sebuah ilmu pengetahuan yang tak ternilai. Ahimsaka ingin memperoleh ilmu tersebut, namun enggan melakukan pembunuhan. Akan tetapi, ia akhirnya setuju untuk berbuat sesuai yang dikatakan oleh gurunya.
Demikianlah, Ahimsaka membunuh dan membunuh, dan agar dapat mengingat jumlah korbannya, ia memotong jari tangan korbannya lalu diuntai dan dipakainya sebagai kalung. Oleh karena itu, ia dikenal dengan julukan Angulimala, dan menjadi pengacau di daerah pinggiran kota. Raja mendengar berita tentang kebiadaban Angulimala dan merencanakan penangkapan.
Pada saat ibu kandung Angulimala, Mantani, mengetahui niat raja, dikarenakan kasih sayangnya, ia dengan putus asa memasuki hutan untuk menyelamatkan anaknya. Pada saat itu, kalung Angulimala sudah memuat 999 jari, hanya tinggal 1 jari lagi untuk menyelesaikan misinya.
Pada saat menjelang fajar, Sang Buddha melihat Angulimala lewat kekuatan batin-Nya, dan berpikir bahwa jika Ia tidak menghentikannya, maka Angulimala, yang sedang mencari korban terakhir, akan membunuh ibu kandungnya sendiri. Jika hal itu terjadi, Angulimala akan menderita di alam neraka dalam waktu yang lama. Maka, atas dasar welas asih, Sang Buddha pergi menuju ke hutan tempat Angulimala berada.
Sementara itu, Angulimala yang selama ini kurang tidur, merasa amat lelah dan lemah. Di saat yang bersamaan, ia juga amat ingin membunuh korban terakhirnya agar tujuannya tercapai dan segera mengakhiri misinya. Ia pun bertekad untuk membunuh orang pertama yang ia jumpai.
Tiba-tiba, saat Angulimala sedang mencari korban, ia melihat Sang Buddha dan segera berlari mengejar-Nya dengan sebilah pedang di tangannya. Akan tetapi, ia tidak dapat melampaui Sang Buddha hingga akhirnya Angulimala benar-benar lemah.
Angulimala berteriak memanggil Sang Buddha, "Biksu, berhenti! Berhentilah!"
Sang Buddha berkata, "Aku telah berhenti, kau sendirilah yang belum berhenti."
Angulimala tidak dapat mengerti ucapan Sang Buddha, "Biksu! Mengapa kau berkata kalau kau sudah berhenti dan aku belum berhenti?"
Sang Buddha menjelaskan, "Aku telah berhenti, karena Aku telah berhenti membunuh makhluk hidup. Aku telah berhenti menyakiti makhluk hidup, dan Aku telah menempatkan diri-Ku di dalam cinta kasih universal, kesabaran, dan kebijaksanaan."
"Sedangkan dirimu belum berhenti membunuh ataupun menyakiti makhluk lain dan kau belum menempatkan diri di dalam cinta kasih universal, kesabaran, dan kebijaksanaan. Oleh karenanya, kaulah orang yang belum berhenti."
Mendengar penjelasan Sang Buddha, Angulimala merenungkan, "Ini adalah kata-kata orang bijaksana. Biksu ini sangat bijaksana dan pemberani. Dia pastilah pemimpin para biksu. Pastilah ia adalah Buddha. Ia datang kemari khusus untuk mengarahkanku ke cahaya terang."
Setelah berpikir demikian, Angulimala membuang senjatanya dan memohon agar Sang Buddha mengizinkan dirinya memasuki persamuan Sangha. Di sana, di saat itu juga, Sang Buddha menahbiskan Angulimala menjadi seorang biksu.
Sementara itu, ibu Angulimala mencari anaknya kesana kemari sambil memanggil-manggil namanya, namun tidak juga ketemu. Akhirnya ia pulang.
Saat raja beserta pasukannya pergi untuk menangkap Angulimala, mereka menemukannya di dalam vihara. Mengetahui bahwa Angulimala telah menjauhi sisi gelapnya dan telah menjadi biksu, raja beserta pasukannya kembali ke istana.
Selama berada di vihara, biksu Angulimala dengan penuh semangat dan tekun melatih meditasi, dan dalam waktu singkat ia mencapai kesucian arahat.
Pada suatu hari, pada saat Angulimala sedang berkeliling menerima dana makanan, ia kebetulan berada di antara sejumlah masyarakat yang sedang terlibat pertengkaran. Pada saat mereka saling melempari batu, beberapa batu mengenai kepala biksu Angulimala dan menciderainya dengan parah.
Biksu Angulimala berusaha pulang kepada Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya, "Putra-Ku, Angulimala! Kau telah mengatasi kejahatan. Bersabarlah, karena kau sedang membayar karma-karma buruk yang pernah kaulakukan."
"Karma-karma buruk itu sebenarnya dapat membuatmu menderita sangat lama di alam neraka."
Setelah itu, biksu Angulimala meninggal dunia dengan tenang dan memasuki parinibbana.
Para biksu bertanya kepada Sang Buddha di alam manakah biksu Angulimala terlahir kembali.
Sang Buddha menjawab, "Putra-Ku telah mencapai parinibbana."
Para biksu tidak percaya. Mereka pun bertanya apakah mungkin kalau orang yang telah membunuh begitu banyak orang dapat mencapai parinibanna.
Sang Buddha menjawab, "Para biksu! Angulimala melakukan begitu banyak kejahatan karena ia tidak memiliki teman yang baik. Namun, akhirnya ia bertemu dengan teman-teman yang baik dan lewat bantuan dan nasihat-nasihat merekalah ia teguh dan saksama mempraktikkan dhamma. Oleh karena itu, benih-benih karma buruknya dilampaui oleh kebajikan."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu.
Dhammapada ayat 173 bab Syair Dunia