Kisah Seorang Gadis Penenun - Dhammapada
Kisah Seorang Gadis Penenun
Andhabutho ayam loko,
tanuke'ttha vipassati,
sakuno jalamuttova,
appo saggaya gacchati.
Kebanyakan orang tidak dapat melihat dengan jelas,
hanya sedikit yang dapat melihat dengan bijaksana,
bagaikan segelintir burung yang dapat lolos dari jerat,
demikianlah, sedikit orang yang dapat terlahir di alam dewa.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di tempat suci Aggavala, di kota Alavi, sehubungan dengan seorang gadis penenun.
Pada akhir sebuah acara persembahan dana di Alavi, Sang Buddha membabarkan dhamma mengenai ketidakkekalan Kelompok Kehidupan (khandha). Intisari ajaran Sang Buddha adalah, "Hidupku tidaklah kekal. Bagiku, kematianlah yang kekal. Aku pasti akan mati, aku akan berakhir dengan kematian. Hidup tidak abadi, kematianlah yang abadi."
Sang Buddha juga mendorong agar para umat selalu mawas diri dan berusaha merenungkan sifat alami Kelompok Kehidupan.
Sang Buddha berujar, "Orang yang bersenjatakan tongkat atau tombak adalah orang yang siap untuk menghadapi musuh. Demikian juga, orang yang mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian akan mati dengan penuh kesadaran. Ia akan meninggalkan dunia ini untuk menuju ke alam yang lebih baik."
Banyak pendengar yang tidak mendengarkan khotbah dengan serius, hanya seorang gadis berusia 16 tahun, yang merupakan seorang tukang tenun, memahami kata-kata Sang Buddha. Setelah selesai berkhotbah, Sang Buddha kembali ke vihara Jetavana.
Tiga tahun kemudian, pada saat Sang Buddha memperhatikan dunia dengan kesaktian-Nya, ia melihat gadis penenun itu, dan segera mengetahui bahwa ia sudah matang untuk mencapai kesucian sotapanna. Maka Sang Buddha pun mengunjungi Alavi lagi untuk membabarkan dhamma untuk kedua kalinya.
Pada saat gadis penenun itu tahu bahwa Sang Buddha beserta 500 orang murid-Nya datang lagi ke Alavi, ia amat ingin mendengarkan lagi khotbah Sang Buddha. Akan tetapi, ayahnya memintanya untuk memintal beberapa gulung benang yang akan segera dipakai.
Gadis penenun itu pun menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin dan bergegas membawakannya kepada ayahnya. Di tengah perjalanan, ia berhenti sejenak di belakang pendengar khotbah yang telah berbondong-bondong datang untuk mendengarkan wejangan dhamma.
Sementara itu, Sang Buddha tahu bahwa gadis penenun itu akan hadir, dan Ia juga tahu kalau gadis itu akan segera meninggal dunia pada saat tiba di gudang tenun. Oleh sebab itu, gadis itu harus mendengar khotbah dalam perjalanannya ke gudang tenun, bukannya saat kembali dari gudang tenun.
Pada saat gadis penenun itu lewat di belakang kerumunan pendengar, Sang Buddha melihatnya. Gadis penenun itu melihat Sang Buddha melihatnya dan ia segera meletakkan keranjangnya dan dengan penuh rasa hormat mendatangi Sang Buddha.
Sang Buddha lalu bertanya kepadanya, "Dari mana asalmu?"
Gadis itu menjawab, "Aku tidak tahu."
"Kau hendak pergi ke mana?"
"Aku tidak tahu."
"Tidakkah kau tahu?"
"Iya, aku tahu."
"Tahukah kau?"
"Aku tidak tahu, Bhante."
Para hadirin yang mendengar jawaban gadis penenun itu berpikir bahwa ia amat kurang ajar. Sang Buddha pun memintanya untuk menjelaskan makna jawabannya.
Gadis penenun itu menjelaskan, "Bhante. Karena Kau tahu aku datang dari rumahku, aku berasumsi, pertanyaan pertama-Mu adalah menanyakan apa kehidupanku sebelumnya. Karenanya aku menjawab, 'aku tidak tahu'."
"Pertanyaan kedua adalah bertanya tentang ke mana tujuanku setelah meninggal. Karenanya aku menjawab, 'aku tidak tahu'."
"Pertanyaan ketiga adalah bertanya apakah aku tahu bahwa suatu hari nanti aku akan mati. Karenanya aku menjawab, 'iya, aku tahu'."
"Pertanyaan terakhir adalah bertanya apakah aku tahu kapan aku akan mati. Karenanya aku menjawab, 'aku tidak tahu, Bhante'."
Sang Buddha puas dengan penjelasan gadis menenun itu dan berkata kepada para pendengar, "Kebanyakan dari kalian tidak memahami arti dari jawaban-jawaban gadis penenun ini. Mereka yang lalai akan masuk ke dalam kegelapan, mereka mirip dengan orang buta."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, gadis penenun itu mencapai kesucian tingkat sotapanna.
Kemudian, gadis penenun itu kembali melanjutkan perjalanannya menuju gudang tenun. Pada saat tiba di sana, ayahnya sedang tidur di kursi tenun. Karena terkejut saat dibangunkan, secara tidak sengaja ia menarik gulungan benang sehingga ujungnya menujuk ke dada gadis itu. Ia pun meninggal seketika, dan ayahnya amat terpukul.
Dengan wajah berlinang air mata, ayahnya pergi menemui Sang Buddha dan memohon kepada-Nya untuk menerimanya sebagai murid. Ia pun ditahbiskan menjadi seorang biksu. Tidak lama kemudian, ia mencapai kearahatan.
Dhammapada ayat 174 bab Syair Dunia