Kisah Cula Panthaka-Dhammapada
Kisah Cula Panthaka
Utthanenappamadena,
samyamena damena ca,
dipam kayiratha medhavi,
yam ogho nabhikirati.
Melalui ketekunan, kewaspadaan, disiplin, dan mengendalikan inderanya,
orang bijaksana menjadikan dirinya sebagai pulau** yang tidak dapat diluapi air**.
Pulau diartikan sebagai kesucian arahat, orang yang telah mencapai Pantai Seberang.
Air diartikan sebagai tindak kejahatan dan nafsu indria.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Veluvana (Taman Bambu), di dekat kota Rajagaha, sehubungan dengan Cula Panthaka.
Tersebutlah di Rajagaha, seorang putri dari seorang bankir yang kaya raya yang dijaga ketat oleh kedua orang tuanya dan ditempatkan di lantai paling atas dari rumah bertingkat 7.
Karena memasuki masa remaja dan puberitas, putri bankir itu melakukan tindakan seksualitas yang menyimpang, ia bahkan melakukan itu dengan pelayannya sendiri.
Karena takut kalau ada orang yang datang dan mengetahui tindakannya itu, ia berkata kepada pelayannya, "Tidak mungkin kita dapat hidup di sini. Jika orang tuaku datang dan mengetahui hal buruk ini, mereka akan mengiris-ngiris tubuhku. Marilah, kita kabur dan hidup di tempat lain."
Dengan membawa barang-barang milik mereka, mereka pergi melalui pintu gerbang utama dan berpikir, "Kita harus pergi dan tinggal di suatu tempat yang tidak mengenali kita."
Kemudian mereka pergi dan menetap di sebuah tempat di mana mereka hidup bersama. Ia lalu hamil.
Pada saat sudah waktunya untuk melahirkan, ia berdiskusi dengan suaminya, "Kandunganku sudah berkembang hingga waktunya matang. Bertempat-tinggal di tempat yang tanpa teman dan kerabat akan mendatangkan masalah, marilah, kita pergi ke rumah orang tua kita."
Karena suaminya takut nyawanya akan melayang jika ikut dengannya ke sana, suaminya selalu menunda-nunda dengan berkata, "Kita akan berangkat hari ini", "kita akan berangkat besok."
Putri bankir itu berpikir, "Karena pengaruh karma buruknya, orang bodoh itu tidak berani pergi. Pada kenyataannya, para orang tua hanya berharap yang terbaik untuk anak-anaknya. Dia pergi atau tidak, aku akan pergi."
Pada saat ia akan meninggalkan rumahnya, ia membereskan rumah itu dan memberitahukan kepada tetangganya tentang keberangkatannya menuju rumah orang tuanya.
Saat suaminya pulang ke rumah dan tidak menemukannya, setelah bertanya kepada tetangganya, ia baru mengetahui bahwa istrinya telah pergi ke rumah orang tuanya. ia segera mengikutinya dan menyusulnya di tengah perjalanan.
Putri bankir itu melahirkan di tengah perjalanan. Suaminya bertanya kepadanya, "Apakah itu, sayangku?"
"Tuan, itu adalah seorang anak laki-laki," jawabnya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Tujuan kita pergi ke rumah orang tua kita telah dicapai di tengah perjalanan. Untuk apa lagi kita pergi ke sana? Mari, kita pulang."
Mereka lalu berjalan dengan tujuan yang sama, pulang ke rumah. Anak yang lahir di tengah perjalanan itu dinamai Panthaka.
Setelah melewati suatu masa, ia kembali mengandung. Penjelasan rinci tentang apa yang terjadi saat itu sama seperti kejadian sebelumnya. Karena anak itu terlahir di jalan, maka anak pertama dinamakan Maha Panthaka dan yang kedua Cula Panthaka. Mereka membawa kedua akan itu kembali ke rumah mereka.
Selama mereka tinggal di sana, Maha Panthaka mendengar anak-anak lain berbicara tentang paman-paman dan kakek-nenek mereka, dan ia bertanya kepada ibunya, "Bu, anak-anak lain bercerita tentang paman-paman dan kakek-nenek mereka. Apakah kita tidak memiliki sanak keluarga, bu?"
"Ya, nak, kau tidak memiliki sanak keluarga di sini. Namun, di kota Rajagaha, kau juga memiliki seorang kakek yang menjadi bankir yang kaya raya. Di kota itu kita juga punya banyak sanak keluarga."
"Mengapa kita tidak pergi ke sana, bu?" tanya Maha Panthaka.
Ibunya tidak memberikan alasan mengapa ia tidak pergi ke sana, namun setelah kedua anaknya mengulang-ulang pertanyaan itu, ia berkata kepada suaminya, "Anak-anak itu amat merisaukanku. Kedua orang tuaku tidak akan memakan kita bila berjumpa dengan kita. Marilah, kita bawa anak-anak untuk bertemu kakek-neneknya."
"Tidak mungkin aku menemui mereka, namun, aku akan membawa kalian ke sana." kata suaminya.
"Baiklah, bagaimana pun sangat baik untuk anak-anak bertemu dengan keluarga dari kakek-neneknya."
Mereka berdua, bersama dengan anak-anak mereka, pergi ke Rajagaha secara bertahap dan berhenti di sebuah rumah peristirahatan di dekat gerbang kota. Putri bankir itu mengirimkan pesan tentang kedatangan mereka dan kedua anaknya kepada orang tuanya.
Setelah mendengar kabar itu, orang tuanya berkata, "Di dalam perputaran roda kelahiran, tidak ada seorang pun yang tidak pernah menjadi seorang putra atau seorang putri. Mereka telah melukai hati kita dengan pedih, tak mungkin bagi kita dapat menerima mereka. Biarlah mereka mendapatkan bagian kekayaan ini dan pergi tinggal di tempat mereka. Namun, mereka boleh mengirimkan putra-putranya ke sini."
Mereka mengambil harta yang dikirimkan orang tuanya dan mengirimkan putra-putra mereka melalui pengirim pesan yang diutus.
Putra-putranya tumbuh besar di rumah kakek-neneknya. Karena Cula Panthaka masih belum cukup umur, maka hanya Maha Panthaka yang selalu pergi bersama dengan kakeknya mendengar ajaran suci. Saat secara teratur bertemu dengan Sang Buddha, Maha Panthaka mengembangkan ketertarikannya menjadi seorang biksu dan ia berkata kepada kakeknya, "Jika kakek mengizinkan, aku lebih suka menjadi biksu."
"Apa katamu, sayangku? Bagiku, penolakanmu (terhadap keduniawian) lebih kuat dibandingkan dengan semua orang yang ada di dunia. Jika kau dapat melakukannya, baiklah."
Setelah mengizinkannya, kakeknya membawa Maha Panthaka menghadap Sang Buddha, dan Sang Buddha bertanya, "Perumah-tangga, apakah kau mempunyai seorang anak?"
"Ya, Bhante, ini cucuku yang ingin menjadi biksu di bawah asuhan-Mu." jawabnya.
Sang Buddha adalah pemimpin para biksu, mereka yang menjalankan latihan-latihan dengan tekad pada kehidupan yang bergantung kepada dana makanan. Beliau berkata, "Terimalah dia ke dalam persamuan Sangha."
Seorang sesepuh, biksu yang telah senior, mengajari Maha Panthaka 5 jenis meditasi (rambut, bulu roma, kuku, gigi, dan kulit), dan menginisiasinya. Maha Panthaka menguasai banyak ajaran Buddha dan pada saat mencapai usia yang matang, ia ditahbiskan menjadi biksu dan melatih meditasi dengan penuh perhatian. Akhirnya ia mencapai kesucian arahat.
Pada saat hidup di dalam kenikmatian bermeditasi dan kesucian, Maha Panthaka berpikir, "Mungkinkah memberikan kebahagiaan ini kepada Cula Panthaka."
Lalu Maha Panthaka mendatangi si bankir, kakeknya, dan berkata, "Jika anda memberikan izin, bolehlah aku membawa Cula Panthaka ke dalam persamuan Sangha."
"Boleh, Yang Arya." Bankir itu terkenal karena setia kepada ajaran-ajaran Sang Buddha, dan jika ia ditanyai, anak (Panthaka bersaudara) dari putri ke berapa? Ia merasa malu untuk berkata bahwa mereka adalah putra-putra dari putriku yang melarikan diri. Dan makanya, ia amat senang mereka menjadi biksu.
Cula Panthaka masuk ke dalam anggota Sangha dan melaksanakan sila. Beberapa saat setelah menjadi biksu, Cula Panthaka diketahui amat lamban dalam kemajuan batinnya. Dalam waktu 4 bulan, ia bahkan tak mampu menghafal, walaupun, hanya satu ayat.
"Lihatlah, Sang Buddha di dalam keagungan yang luar biasa, bagaikan keharuman bunga teratai merah yang sedang mekar di pagi hari, dan bagaikan pancaran sinar mentari di atas langit."
Tersebutlah pada masa yang silam, pada saat masa Arahat Samma Sambuddha Kassapa. Cula Panthaka pada kehidupan masa lampau itu adalah seorang biksu yang sangat pintar. Ia mengejek seorang biksu yang bodoh karena harus selalu mengulangi pelajarannya. Dan biksu bodoh itu merasa amat malu pada ejekan biksu pintar itu, yang tidak pernah dan tidak perlu mengulang-ulang pelajaran yang ia terima.
Karena akibat dari tindakannya itu, biksu pintar itu terlahir kembali sebagai Cula Panthaka yang bodoh. Setelah menerima ajaran, ia langsung lupa dengan apa yang telah ia pelajari. Demikianlah, 4 bulan ia lalui untuk hanya berusaha sekeras mungkin menghafal satu ayat yang itu-itu juga.
Lalu Maha Panthaka berkata kepadanya, "Panthaka, kau tidak cocok hidup sebagai biksu, kau tidak mampu memahami satu ayat pun dalam waktu 4 bulan. Bagaimana kau dapat memperoleh pencapaian sebagai seorang biksu? Tinggalkanlah vihara ini."
Cula Panthaka yang amat terikat kepada ajaran-ajaran Sang Buddha merasa tak mampu kembali hidup sebagai perumah-tangga.
Pada saat itu Maha Panthaka bertugas sebagai pengatur kelompok biksu untuk menghadiri jamuan dana makanan. Dan Jivaka Komarabhacca, Jivaka si anak angkat pangeran, membawa banyak karangan bunga dan wewangian ke vihara sebagai persembahan kepada Sang Buddha. Setelah mendengarkan ajaran-Nya, Jivaka bangkit dari tempat duduknya, bersujud kepada Sang Buddha dan pergi menemui Maha Panthaka.
Jivaka lalu bertanya, "Yang Arya, berapa banyak biksu yang tinggal bersama Sang Buddha?"
"Sejumlah 500 orang biksu."
"Yang Arya, sudikah kiranya, esok hari, anda beserta ke-500 biksu dengan dipimpin oleh Sang Buddha menerima dana makanan di rumahku?"
Maha Panthaka menjawab, "Upasaka, Cula Panthaka tidak mencapai kemajuan apapun di dalam Dhamma, maka, kecuali dia, aku atas nama biksu-biksu lainnya menerima undanganmu."
Cula Panthaka mendengar pembicaraan itu dan berpikir, "Sesepuh menerima undangan untuk semua biksu, kecuali aku. Ia pasti amat kecewa dengan kemajuanku. Benar katanya, aku tidak cocok tinggal di vihara. Aku seharusnya kembali menjadi seorang perumah-tangga, hidup dengan berdana dan menanam benih-benih karma baik lainnya."
Pada keesokan paginya, Cula Panthaka bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap-siap melepaskan kebiksuannya. Pada saat yang bersamaan, Sang Buddha sedang memperhatikan dunia dan mengetahui keadaan Cula Panthaka. Beliau lalu bangkit, dan di depan pintu Ia bertemu dengan Cula Panthaka yang sedang lewat. Cula Panthaka lalu mendekati Sang Buddha dan bersujud kepada-Nya.
Lalu Sang Buddha bertanya, "Cula Panthaka, kau hendak ke mana pagi-pagi begini?"
"Bhante, aku telah mengecewakan saudaraku, makanya aku akan meninggalkan vihara."
"Cula Panthaka, kemajuanmu adalah masalah-Ku, jika kau mengecewakan saudaramu, mengapa kau tidak datang kepada-Ku? Apa yang dapat kau peroleh dari kehidupan sebagai perumah-tangga? Marilah, ikuti Aku."
Setelah berucap demikian, Sang Buddha mengusap kepala Cula Panthaka dengan telapak tangan-Nya yang memiliki tanda manusia agung, lalu mengajaknya ke ruangan Gandhakuti (Aula Keharuman). Cula Panthaka duduk di depan ruangan itu, dan dengan kekuatan batin-Nya, Sang Buddha mengadakan sepotong kain putih yang sangat bersih, dan menyerahkan kain putih itu kepadanya sambil berkata, "Cula Panthaka, tetaplah di sini dengan menghadap ke arah timur. Gosoklah sepotong kain putih ini sambil mengulang-ulang kata; 'bersihkan kekotoran, bersihkan kekotoran,' (rajoharanam)"
Lalu setelah memberikan petunjuk itu kepada Cula Panthaka, Sang Buddha bersama semua murid-murid-Nya pergi ke rumah Jivaka. Dan setelah tiba di sana, Ia duduk di tempat yang telah disediakan khusus untuk-Nya.
Cula Panthaka duduk menghadap ke arah matahari terbit dan menggosok-gosok kain itu sambil melafal kata-kata 'bersihkan kekotoran, bersihkan kekotoran." Semakin digosok-gosokkan kain itu semakin bernoda.
Lalu muncul suatu pemikiran, "Awalnya kain ini sangatlah bersih, namun karena aku, kain itu telah berubah dari bersih menjadi bernoda."
Demikianlah, ia merenungkan tentang ketidakkekalan segala sesuatu. Ia mengarahkan pikirannya pada pelapukan dan pelenyapan, dan mengalami kemajuan batin.
Sang Buddha yang mengetahui pikiran Cula Panthaka mengirimkan seberkas cahaya lewat kekuatan batin-Nya dan muncul jelmaan-Nya di hadapan Cula Panthaka, dan berkata, "Cula Panthaka, jangan melekat pada pemikiran bahwa sehelai kain bernoda dan kotor karena debu. Di dalam dirimu, terdapat debu nafsu dan debu-debu lainnya, hilangkanlah debu-debu itu."
Lalu jelamaan Sang Buddha itu mengucapkan beberapa bait syair, "Raga (Keserakahan) disebut dengan raja. Bukan berarti itu adalah debu, itu berarti nafsu. Dengan mengenyahkan raja ini maka para biksu mematuhi ajaran-ajaran dari seseorang yang bebas dari raja."
"Dosa (kebencian) disebut sebagai raja. Bukan berarti itu adalah debu, itu berarti kebencian. Dengan mengenyahkan raja ini maka para biksu mematuhi ajaran-ajaran dari seseorang yang bebas dari raja."
"Moha (kebodohan) disebut sebagai raja. Bukan berarti itu adalah debu, itu berarti kebodohan. Dengan mengenyahkan raja ini maka para biksu mematuhi ajaran-ajaran dari seseorang yang bebas dari raja."
Setelah mendengar syair itu, Cula Panthaka mencapai kearahatan berikut dengan pandangan terang analitis serta, dengan pandangan terang analitis itu, ia memahami makna-makna Tripitaka.
Berikut ini kisah kehidupan masa lampau. Pada zaman dahulu, Cula Panthaka terlahir sebagai seorang raja. Saat ia berkeliling kota, keringatnya mengucur dahinya dan ia melapnya dengan sehelai kain bersih. Kain itu berubah menjadi bernoda.
"Sehelai kain yang begitu bersih, karena tubuhku telah berubah menjadi bernoda." Demikianlah ia mengembangkan pandangan ketidakkekalan dan berpikir, "Ketidakstabilan dialami semua benda." Karena hal mendasar itu, maka menghilangkan keburukan moral menjadi faktor pendukung bagi kemajuan batin.
Kembali ke masa kehidupan sekarang. Jivaka, si anak angkat pangeran, membawakan Sang Buddha secangkir air minum untuk dituang sebagai simbol pelimpahan jasa. Namun, Sang Buddha menutupi mangkuk-Nya dengan tangan-Nya dan berkata, "Jivaka, apakah tidak ada lagi biksu di dalam vihara?"
"Tidak ada, Sang Bhagava, Maha Panthaka bilang bahwa tidak ada biksu yang tertinggal di vihara."
Sang Buddha berkata, "Masih ada, Jivaka."
Jivaka mengutus seorang pesuruh, "Orang budiman, pergi dan lihatlah apakah masih ada biksu di dalam vihara."
Pada saat itu, Cula Panthaka berpikir, "Saudaraku berkata bahwa tidak ada lagi biksu di vihara. Aku akan menunjukkan kepadanya bahwa masih ada."
Ia membuat 1.000 jelmaan biksu yang memenuhi seluruh vihara. Beberapa biksu jelmaan sedang mencuci jubah, ada yang mencelup jubah, dan yang lainnya sedang melatih diri, semua berbeda-beda. Pesuruh itu melihat begitu banyak biksu di vihara, ia pulang dan melaporkan hal itu kepada Jivaka. "Tuan, seluruh Taman Mangga penuh dengan biksu."
Sang Buddha lalu berkata kepada pesuruh itu, "Pergilah ke vihara dan berkatalah bahwa Sang Bhagava memanggil biksu yang bernama Cula Panthaka."
Pada saat pesuruh itu pergi ke sana dan berkata sesuai petunjuk Sang Buddha, seluruh biksu jelmaan berkata, "Akulah Cula Panthaka, akulah Cula Panthaka."
Pesuruh itu kembali dan melaporkan, "Sang Bhagava, semuanya berkata bahwa dirinya adalah Cula Panthaka."
"Jika demikian, tolong pergi ke sana dan peganglah biksu pertama yang mengucapkan bahwa ia adalah Cula Panthaka, maka seluruh jelmaannya akan lenyap."
Pesuruh itu pergi bersama Maha Panthaka, dan ia menuruti petunjuk Sang Buddha, dan pada saat itu seluruh biksu jelmaan menghilang.
Setelah selesai makan, Sang Buddha berkata kepada Jivaka, "Jivaka, bawalah mangkuk Cula Panthaka. Ia akan memberikan khotbah sebagaimana biasanya diberikan setelah selesai makan." Dan Jivaka pun melakukannya.
Cula Panthaka memberikan khotbah Dhamma yang mencakup Tripitaka dengan suara bagaikan auman singa. Sang Buddha bangkit dari tempat duduk-Nya dan kembali ke vihara bersama dengan persamuan biksu. Dan setelah para biksu melayani Sang Buddha sebagaimana biasanya, Ia berdiri di pintu masuk Aula Keharuman memberikan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk meditasi kepada para biksu. Sang Buddha lalu memasuki Aula Keharuman, mengharumkan ruangan itu dengan aroma manis dan meletakkan bantalan singa di sisi kanan-Nya.
Pada saat itu, di kalangan biksu dari beragam tempat berembuk bersama dan duduk bagaikan lingkaran benang wol, dan mulai membahas tentang kemuliaan Sang Buddha, "Saudara-saudara, Maha Panthaka tidak melihat nilai interistik Cula Panthaka, memintanya untuk keluar dari vihara karena menganggapnya tidak becus karena tak mampu memahami satu bait dalam 4 bulan. Samma Sammbuddha lewat kemampuan tak tertandingi-Nya dalam menghargai Dhamma, membantu Cula Panthaka mencapai kearahatan beserta pandangan terang analitis hanya dalam waktu singkat, dan ia menjadi ahli dalam Tripitaka dan memahaminya. Para Buddha memang sangat gagah dan perkasa."
Pada saat yang bersamaan, Sang Buddha, menyadari tema diskusi dalam perkumpulan suci itu, dan memutuskan untuk segera pergi ke sana. Bangkit dari tempat tidur-Nya dan mengenakan jubah berlapis-Nya dengan rapi, mengikat sekuat sambaran petir sabuk-Nya, mengenakan jubah atas-Nya yang seperti selimut wol merah, Ia keluar dari Aula Keharuman dan berjalan ke arah perkumpulan biksu dengan keagungan yang tak terukur, dan dengan gagah langkah bagaikan gajah, serta pandangan bagaikan singa.
Sang Buddha melangkah ke tempat duduk yang telah disiapkan dengan baik untuk-Nya di tengah aula berhias itu. Sang Buddha duduk di sana dan memancarkan 6 cahaya kebuddhaan yang bagaikan mentari fajar di atas gunung Yugandhara, memancar hingga ke dasar samudera.
Semua biksu hening tak bersuara. Sang Buddha melihat ke seluruh persamuan dengan penuh kelembutan dan cinta kasih, dan berpikir, "Amat membahagiakan sekali keadaan persamuan ini tanpa ada yang menggerakkan kaki maupun tangan, tiada yang bersuara maupun batuk, atau bersin. Begitu penuh penghormatan kepada Buddha dan terpesona dengan kemuliaan-Nya. Walau Aku duduk tanpa berbicara hingga seumur hidup-Ku, mereka tidak akan memecahkan keheningan dengan terlebih dahulu berbicara. Aku akan mencari jalan untuk memulai pembicaraan, dan Aku akan berbicara terlebih dahulu."
Dengan suara yang bernada indah dan berwibawa, Sang Buddha bertanya kepada para biksu, "Apakah yang sedang kalian bicarakan, sambil duduk di sini? Topik apakah yang telah terpotong itu?"
Para biksu pun menjawab dengan jelas tentang topik yang mereka bahas. Lalu Sang Buddha berkata, "Para biksu, bukan hanya sekarang Cula Panthaka bodoh. Pada kehidupan lampaunya pun ia bodoh. Bukan hanya sekarang Aku menjadi pelindungnya, namun pada kehidupan lampau pun Aku pernah melindunginya. Bukan hanya pada kehidupan lampau Aku membuatnya memiliki kekayaan material, sekarang juga, Aku telah membuatnya memiliki kekayaan kesucian batin."
Para biksu yang tertarik untuk mendengar secara rinci meminta, maka Sang Buddha menceritakan sebuah kisah kehidupan masa lampau.
Pada masa dahulu, terdapat seorang remaja yang merupakan warga kota Banares. Ia pergi ke Takkasila untuk menuntut ilmu dan bergabung dengan kelompok murid yang mendapatkan petunjuk dari guru yang amat terkenal. Di antara 500 orang murid, ialah satu-satunya yang melayani sang guru dengan amat baik. Ia melakukan apa saja, termasuk memijat kaki gurunya.
Namun, karena kebodohannya, ia tidak dapat memperlajari apa pun. Guru terkenal itu fokus untuk mengajarinya, namun ia tak mampu mengajarinya apa pun. Remaja itu tinggal di sana dalam waktu yang sangat lama, tetapi tidak mampu menguasai satu bait syair pun, maka ia bersedih dan meminta izin dari sang guru untuk pergi.
Sang guru berpikir, "Ia selalu melayaniku. Aku ingin ia belajar namun aku tak mampu melakukannya. Tentu, aku harus melayaninya kembali dan aku akan membuat sebuah mantra untuknya."
Sang guru membawanya ke hutan dan melafalkan mantra ini, "Kau bersembunyi, kau bersembunyi. Mengapa kau bersembunyi? Aku tahu apa yang kau lakukan."
Sang guru mengulang-ulang mantra itu ratusan kali sehingga pemuda itu mampu menghafalnya. Sang guru lalu bertanya, "Apakah kau mengerti?"
Pemuda itu menjawab, "Ya, sudah."
Sang guru pun berpikir, "Saat seseorang yang bodoh telah memaksakan diri untuk menguasai suatu ilmu, ia pasti tak akan melupakannya."
Setelah memberikan perbekalan untuk perjalanan muridnya, sang guru berkata, "Pergilah sekarang, teruskanlah hidupmu dengan mantra ini, bagaimana pun, kau harus selalu mengulang-ulangi mantra ini agar tidak terlupakan." Sang guru lalu mengantarnya sampai ke suatu jarak tertentu.
Pada saat pemuda itu tiba di kota Banares, ibunya memberikan kepadanya sambutan yang hangat karena menduga bahwa anaknya telah kembali dengan berbagai ilmu.
Di istana kerajaan, raja Banares berpikir dalam hati, "Apakah aku berbuat kesalahan sehubungan dengan tindakan dan perbuatan lainnya?"
Namun, raja tidak menemukan kesalahan-kesalahan dirinya sendiri. Ia berpikir, "Seseorang tidak dapat mengetahui kesalahannya sendiri, namun orang lain bisa. Aku harus cari tahu dari rakyat-rakyatku."
Pada suatu senja, raja keluar dari istananya dengan penyamaran, "Biasanya, setelah para warga selesai makan, mereka akan berkumpul dan membahas segala jenis topik. Jika aku memerintah secara tidak benar, maka mereka pasti akan berkata bahwa mereka telah ditindas oleh hukuman dan pajak yang diberlakukan oleh raja jahat dan tidak bijak. Bila aku memerintah dengan benar, maka mereka akan memuji diriku, dan berdoa untuk perpanjang usiaku."
Raja berkeliling dari rumah ke rumah. Pada saat yang bersamaan, sekelompok pencuri sedang menggali terowongan di antara dua rumah agar mereka dapat memasuki kedua rumah itu lewat satu terowongan. Raja memergoki mereka dan ia berhenti di bawah gelapnya bayangan rumah.
Sementara, para pencuri, sesudah menggali terowongan, memasuki sebuah rumah dan mencari-cari benda berharga. Tiba-tiba pemuda yang baru pulang dari Takkasila itu terbangun dari tidurnya dan melafal mantra itu, "Kau bersembunyi, kau bersembunyi. Mengapa kau bersembunyi? Aku tahu apa yang kaulakukan."
Mendengar itu, para pencuri terkejut, "Kita ketahuan oleh orang ini, dan kini ia akan menyakiti kita." Karena ketakutan, mereka membuang semua pakaian yang mereka kenakan, dan melarikan diri ke segala arah.
Sang raja, setelah melihat mereka melarikan diri karena mendengar pemuda itu melafalkan mantra itu, berputar arah dan pulang ke istana.
Pada pagi harinya, raja mengutus seeorang dengan berkata, "Pergilah, di suatu tempat, di suatu rumah yang terdapat sebuah terowongan, ada seorang pemuda yang baru saja pulang dari belajar di Takkasila. Bawa pemuda itu ke sini."
Orang itu pergi menemui pemuda itu dan berkata, "Raja memanggil anda." dan membawanya menghadap raja.
Sesampainya di istana, raja bertanya kepada pemuda itu, "Apakah kau adalah pemuda yang baru pulang dari Takkasila?"
"Benar, paduka raja."
"Berikan kepadaku."
"Dengan senang hati, paduka raja. Dapatkah kau duduk di bawah sini, dan memperlajarinya?"
Raja menurutinya, lalu mempelajari mantra itu, lalu menghadiahkan kepadanya 1.000 koin sebagai imbalan pengajarannya.
Sementara itu, di tempat lainnya, seorang jenderal bertanya kepada seorang tukang cukur tentang kapan raja akan mencukur jenggotnya. Katanya esok hari atau lusa. Tukang cukur itu diberikan 1.000 koin oleh si jenderal, "Aku punya tugas untukmu."
Tukang cukur itu menanyakan tentang tugas yang harus ia lakukan. Si jenderal berkata, "Pada saat pisau cukurmu sudah sangat tajam, dan pada saat berpura-pura ingin mencukur jenggot raja, kau potong tenggorokannya. Kau akan kuangkat sebagai jenderal bila aku menjadi raja."
Tukang cukur itu setuju, "Baiklah."
Saat tiba waktunya bagi raja untuk bercukur, tukang cukur itu menyabuni janggutnya dengan air wewangian. Setelah ia mengasah pisau cukurnya, ia memegang dahi raja. Namun karena ia melihat pisau cukurnya sedikit tumpul, dan menyadari bahwa ia harus memotong tenggorokan raja dengan sekali sabetan, maka ia berbalik dan mengasah lagi pisau cukurnya.
Pada saat itu, raja teringat kepada mantra itu, lalu mulai melafalnya, "Kau bersembunyi, kau bersembunyi. Mengapa kau bersembunyi? Aku tahu apa yang kaulakukan."
Tukang cukur itu mulai berkeringat dan mengira bahwa raja telah mengetahui tindakannya, dan dengan ketakutan ia menjatuhkan pisau cukurnya ke tanah dan berlutut dengan kedua kakinya. Raja berpikiran tajam, maka ia berkata, "Hei, kau tukang cukur jahat, kau kira raja tidak tahu."
"Maafkan aku, paduka raja."
"Baiklah, tak perlu takut, dan ceritakan kepadaku apa yang terjadi."
Tukang cukur itu berkata, "Paduka raja, seorang jenderal memberikan kepadaku 1.000 koin dan berkata kepadaku untuk memotong tenggorokan raja. Ia akan menjadi raja, dan aku akan ditunjuk sebagai jenderal."
Raja mengusir jenderal itu keluar dari kerajaannya, "Jenderal, apa yang tidak kau peroleh dariku? Kini aku tidak mau lagi melihat dirimu. Pergi dari kerajaanku."
Rasa merasa berhutang nyawa kepada pemuda itu, raja kemudian memanggilnya dan menganugerahkannya penghargaan terhormat, "Guru, karena anda, nyawaku terselamatkan." dan memberikan jabatan jenderal kepadanya.
Demikianlah kisah kehidupan masa lampau itu, Sang Buddha lalu berkata, "Pada saat itu, Aku adalah sang guru terkenal itu. Para biksu, Cula Panthaka adalah orang bodoh pada kehidupan lampau itu. Aku jugalah yang melindunginya dan memberikan kekayaan material kepadanya."
Pada suatu hari, pada saat terjadi pembicaraan tentang Sang Buddha yang telah menjadi pelindung bagi Culasetthi.
"Seorang yang bijaksana dan cerdas, walau dengan sedikit usaha, mampu mengangkat dirinya sebagaimana seseorang dapat menghidupkan api kecil mejadi api yang besar."
Setelah berkata demikian, Sang Buddha berkata, "Para biksu, bukan hanya kini Aku telah menjadi pelindung bagi dirinya, pada kehidupan lampau pun Aku telah membuatnya memperoleh kekayaan spiritual. Pada saat itu, Cula Panthaka adalah seorang murid Culasetthi, dan Aku sendiri adalah Culasetthi." Lalu Sang Buddha mengisahkan sebuah kisah kehidupan masa lampau.
Pada suatu hari, para biksu kembali membahas masalah ini di ruang perkumpulan, "Saudara-saudara, walau Cula Panthaka tidak mampu menguasai sebait syair pun selama 4 bulan, hanya karena ia sekeras mungkin berusaha maka ia mencapai kearahatan, dan memperoleh kekayaan spiritual."
Sang Buddha datang dan berkata, "Para biksu, apa yang kalian perbincangan disini?"
Setelah mereka memberitahukan tentang topik yang mereka bahas, Sang Buddha berkata, "Para biksu, seorang biksu yang kuat dalam berusaha sesuai ajaran-Ku, akan menjadi ahli dalam Dhamma".
Lalu Sang Buddha mengucapkan ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, banyak sekali yang mencapai kesucian Sotapanna dan lainnya, dan demikianlah ajaran itu sangat cocok untuk persamuan itu.
Dhammapada ayat 025 bab Syair Kewaspadaan