Kisah Nigamavasi Tissa-Dhammapada
Kisah Biksu Nigamavasi Tissa
Appamadarato bhikkhu,
pamade bhayadassi va,
abhabbo parihanaya,
nibbanasseva santike.
Seorang biksu yang berbahagia di dalam kewaspadaan,
serta mengetahui betapa bahayanya kelengahan,
dan tidak akan terjerumus lagi**,
maka ia semakin mendekati nibbana.
Tidak akan terjerumus lagi diartikan sebagai tidak akan lagi meninggalkan latihan meditasi ketenangan batih dan pandangan terang.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, sehubungan dengan biksu Nigamavasi Tissa.
Nagamavasi Tissa lahir dan besar di kota perdagangan kecil di dekat kota Savatthi. Setelah menjadi seorang biksu, ia hidup di dalam kesederhanaan dengan sangat sedikit keinginan. Untuk memperoleh dana makanan, ia biasanya pergi ke desa tempat para sanak keluarganya tinggal, ia menerima apa pun yang dipersembahkan kepadanya. Ia menjauhkan diri dari persembahan yang berlebihan. Bahkan, saat Anathapindika dan raja Pasenadi dari kerajaan Kosala mengadakan persembahan dalam skala besar, ia tidak pergi ke sana.
Beberapa biksu mulai membincangkan biksu itu, dan berkata bahwa ia masih terikat pada hubungan dengan para sanak saudaranya, dan ia tidak peduli pada orang semacam Anathapindika dan raja Pasenadi yang mengadakan persembahan dalam skala besar, dan kata-kata lainnya.
Pada saat Sang Buddha diberitahu mengenai hal itu, Ia memanggil biksu itu dan bertanya kepadanya. Biksu itu dengan penuh hormat menjelaskan kepada Sang Buddha bahwa adalah benar ia secara berkala mengunjungi desanya, namun hanya untuk menerima dana makanan, dan setelah memperoleh makanan secukupnya, ia akan segera kembali, dan ia tidak pernah peduli apakah makanannya enak atau tidak.
Oleh karena itu, bukannya menyalahkan biksu itu, Sang Buddha malah memuji perilakunya di hadapan para biksu. Sang Buddha juga memberitahukan kepada mereka bahwa hidup dengan rasa puas dengan hanya sedikit keinginan adalah selaras dengan ajaran Sang Buddha dan para Yang Arya. Dan semua biksu, seharusnya, meniru biksu Tissa.
Sehubungan dengan hal itu, Sang Buddha menceritakan sebuah kisah kehidupan masa lampau tentang raja burung kakatua.
Pada zaman dahulu, hiduplah seekor raja burung kakatua di sebuah hutan kecil pepohonan ara di tepi sungai Gangga, bersama dengan sekelompok besar pengikutnya.
Pada saat seluruh buah di hutan kecil itu habis mereka makan, burung-burung kakatua yang lainnya pergi meninggalkan hutan itu, kecuali raja kakatua. Ia cukup puas dengan apa pun yang tersisa di pohon tempat ia tinggal, baik itu tunas, daun, atau pun kulit kayu.
Dewa Sakka mengetahui hal itu dan ingin mencoba kemuliaan raja kakatua, dan dengan kesaktiannya ia membuat pohon itu menjadi layu dan melapuk. Lalu ia dan ratunya, Sujata, menjelma sebagai sepasang angsa mendatangi raja kakatua dan bertanya mengapa dirinya tidak meninggalkan pohon tua yang lapuk itu dan pergi ke pohon lain yang masih berbuah rimbun.
Raja kakatua menjawab, "Karena rasa syukurku kepada pohon ini maka aku tidak akan meninggalkannya, begitu juga selama aku masih mendapatkan makanan apa pun untuk hidup aku tidak akan meninggalkannya. Sangat tidak pantas bagiku untuk meninggalkan pohon ini walaupun pohon ini telah mati."
Merasa amat terkesan dengan jawaban itu, Sakka menampakkan wujud aslinya. Ia mengambil air dari sungai Gangga dan menuangkannya ke pohon yang lapuk itu. Spontan pohon itu segar kembali. Akar-akarnya kembali subur dan hijau, dan dipenuhi buah yang bergelantungan.
Demikianlah, orang yang bijaksana walaupun berwujud sebagai bintang tetap tidaklah serakah, mereka puas dengan apa pun yang ada.
Pada kehidupan masa lampau itu, raja kakatua itu adalah Sang Buddha, sedangkan dewa Sakka adalah Anuruddha.
Lalu Sang Buddha mengucapkan ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, biksu Tissa mencapai kesucian arahat.
Dhammapada ayat 032 bab Syair Kewaspadaan