Kisah Samavati-Dhammapada
Kisah Samavati
Appamado amatapadam,
pamado maccuno padam,
appamatta na miyanti,
ye pamatta yatha mata.
Evam visesato natva,
appamadamhi pandita,
appamade pamodanti,
ariyanam gocare rata.
Te jhayino satatika,
niccam dalhaparakkama,
phusanti dhira nibbanam,
yogakkhemam anuttaram.
Kewaspadaan adalah jalan menuju ke Tanpa Kematian**,
ketidak-waspadaan adalah jalan menuju ke Kematian**,
mereka yang waspada tidak akan mati**,
mereka yang tidak waspada bagaikan orang mati**.
Tanpa Kematian diartikan dengan mencapai nibbana.
Kematian diartikan samsara, kalahiran dan kematian.
'tidak akan mati' karena orang yang telah mencapai keadaan nibbana maka tidak ada lagi kelahiran dan kematian baginya.
'orang mati' karena mereka belum mencapai nibbana maka sudah pasti masih akan mengalami kelahiran dan kematian yang berulang-ulang.
Dengan mengerti sepenuhnya keadaan ini,
orang bijaksana yang penuh dengan kewaspadaan,
berbahagia di dalam kewaspadaan,
dan bersuka dalam persamuan para arya.
Orang bijaksana akan segera melaksanakan samadhi dan meditasi pandangan terang,
selamanya penuh kewaspadaan dan teguh dalam mencapai nibbana,
yang bebas dari keterikatan, dan tiada bandingan.
Sang Buddha mengucapkan ayat-ayat itu pada saat berada di vihara Ghosita, di dekat Kosambi, sehubungan dengan Samavati, salah seorang ratu utama raja Udena dari kerajaan Kosambi.
Ratu Samavati mempunyai 500 orang dayang yang tinggal bersamanya di sebuah istana. Ia juga mempunyai seorang pelayan wanita yang bernama Khujjuttara. Setiap hari, pelayan itu ditugaskan untuk membeli bunga-bunga untuk ratu Samavati dari toko bunga milik Sumana.
Pada suatu ketika, Khujjuttara memperoleh kesempatan untuk mendengarkan khotbah yang dibabarkan oleh Sang Buddha di kediaman Sumana, dan pelayan itu mencapai kesucian sotapanna.
Sekembalinya di istana, Khujjuttara mengulangi khotbah Sang Buddha itu kepada ratu Samavati beserta 500 dayangnya, dan mereka semua juga mencapai kesucian sotapanna.
Semenjak saat itu, Khujjuttara tidak lagi diharuskan berkerja keras, namun bertindak sebagai ibu sekaligus guru ratu Samavati. Ia diharuskan mengulang khotbah yang ia dengar dari Sang Buddha kepada ratu dan dayang-dayangnya. Oleh karena itu, lama-lama Khujjuttara menguasai Tripitaka.
Ratu Samavati dan dayang-dayangnya amat berharap dapat bertemu dengan Sang Buddha dan memberikan penghormatan kepada-Nya, namun mereka takut raja akan tidak senang kepada mereka. Maka, mereka melubangi dinding istana, dan dari lubang-lubang itu mereka mengitip ke arah Sang Buddha berada dan memberikan penghormatan kepada-Nya setiap hari saat Ia berkunjung ke rumah 3 orang saudagar kaya yang bernama Ghosaka, Kukkuta, dan Pavariya.
Pada saat itu, raja Udena juga memiliki seorang ratu utama lainnya yang bernama Magandiya. Ratu Magandiya adalah putri dari seorang brahmana.
Kisah Magandiya menjadi ratu adalah begini. Pada suatu hari ayahnya melihat Sang Buddha dan ayahnya berpikir bahwa Sang Buddha adalah orang yang paling cocok untuk memiliki putrinya amat cantik. Maka, ayahnya bergegas pulang ke rumah untuk menjemput ibunya dan dirinya untuk pergi menemui Sang Buddha, lalu menawarkan kepada Sang Buddha untuk menikahi putrinya.
Sang Buddha menolak tawar itu dengan berkata, "Walaupun telah bertemu dengan Tanha, Arati, dan Raga, putri-putri Mara, Aku tidak tertarik untuk memanjakan indera-Ku. Lagipula, semua itu adalah sesuatu yang dipenuhi dengan air kencing dan kotoran, yang tak ingin Aku sentuh walaupun dengan kaki-Ku."
Mendengar kata-kata Sang Buddha itu, ayah dan ibunya mencapai kesucian anagami. Mereka menyerahkan perawatan dirinya kepada pamannya dan mereka sendiri bergabung dengan Sangha. Akhirnya, mereka mencapai kearahatan.
Sebenarnya Sang Buddha sudah mengetahui sejak awal bahwa sang brahmana dan istrinya sudah waktunya mencapai anagami, oleh karena itu, ia menjawab tawaran mereka dengan ucapan itu. Namun, putri mereka, Magandiya, amat tersinggung dan sakit hati, dan ia pun bersumpah untuk membalas jika ada kesempatan.
Kemudian, pamannya memberikan Magandiya kepada raja Udena dan ia menjadi salah satu ratu utamanya.
Ratu Magandiya mempelajari tentang kedatangan Sang Buddha di Kosambi, serta tentang bagaimana ratu Samavati dan dayang-dayangnya memberikan penghormatan kepada-Nya lewat lubang-lubang pada dinding istana yang mereka tempati. Maka, ia berencana untuk membalas dendam kepada Sang Buddha sekaligus menyakiti ratu Samavati dan para dayang-dayangnya yang merupakan umat yang berbakti kepada Sang Buddha.
Ratu Magandiya memberitahukan kepada raja bahwa ratu Samavati berserta dayang-dayangnya telah melubangi dinding istana yang mereka tempati, dan mereka telah berhubungan dengan orang luar dan tidak setia kepada raja.
Raja Udena menyelidikinya dan melihat lubang-lubang pada dinding, namun pada saat ratu Samavati menjelaskan alasannya, raja tidak marah.
Ratu Magandiya tetap berusaha membuat agar raja percaya bahwa ratu Samavati tidak setia kepadanya dan mencoba berusaha membunuh raja.
Pada suatu saat, tahu bahwa raja akan mengunjungi ratu Samavati dalam beberapa hari ke depan, dan tahu bahwa raja akan membawa kecapinya, ratu Magandiya memasukkan seekor ular ke dalam kecapi itu dan menyubat lubangnya dengan seikat bunga.
Ratu Magandiya berpura-pura mencoba menghentikan niat raja untuk pergi menemui ratu Samavati karena, menurut ratu Magandiya, ia mempunyai firasat buruk. Karena raja tetap berangkat ke sana, maka dengan alasan mengkhawatirkan keselamatan raja, ia ikut raja Udena ke istana ratu Samavati.
Sesampainya mereka di kediaman ratu Samavati, ratu Magandiya mencabut bunga-bunga yang menyumbat lubang kecapi milik raja. Ular itu merayap keluar dan bersembunyi di balik selimut tempat tidur. Pada saat raja melihat ular itu, ia percaya apa yang dikatakan oleh ratu Magandiya, bahwa ratu Samavati mencoba membunuhnya.
Raja amat marah, dan memerintahkan ratu Samavati untuk berdiri dan para dayangnya berbaris di belakangnya. Lalu raja mempersiapkan busur dengan sebuah anak panah yang dilumuri dengan racun, dan menembakkan anak panah itu.
Namun, ratu Samavati dan para dayangnya tidak memiliki niat jahat terhadap raja dan melalui kekuatan cinta kasih mereka anak panah itu berbalik arah, padahal anak panah yang ditembakkan raja selalu mengenai sasaran bahkan dapat menembusi batu.
Setelah itulah, raja menyadari ketidaksalahan dari ratu Samavati, dan raja memberikan izin kepadanya untuk mengundang Sang Buddha dan murid-murid-Nya untuk datang ke istana untuk menerima dana makanan serta mengkhotbahkan Dhamma.
Ratu Magandiya sadar bahwa semua rencananya tidak ada yang membuahkan hasil. Ia merencanakan sebuah percobaan terakhir yang tak mungin gagal. Ia mengirim pesan kepada pamannya sebuah interuksi secara rinci untuk mendatangi kediaman Samavati dan membakar istananya bersama dengan semua wanita yang ada di dalamnya. Pamannya pun melaksanakannya.
Pada saat istananya sedang dilalap api, ratu Samavati dan para dayangnya yang berjumlah 500 orang, tetap memusatkan perhatian dalam meditasi. Demikianlah, banyak dari mereka yang mencapai kesucian sakadagami, dan sisanya mencapai kesucian anagami.
Begitu kabar kebakaran itu menyebar, raja dengan segera menuju ke tempat kejadian, namun terlambat.
Setelah mengusut, raja mengetahui bahwa kebakaran itu diotaki oleh ratu Magandiya. Namun ia tidak menunjukkan perilaku bahwa ia mengetahui hal itu. Malah sebaliknya, ia berkata, "Ketika Samavati masih hidup, aku amat gelisah dan waspada kalau-kalau ia akan menyakitiku. Barulah sekarang ini pikiranku tenang. Siapakah yang melakukan ini? Ini pasti dilakukan oleh seseorang yang amat mencintaiku."
Mendengar ucapan itu, ratu Magandiya segera mengakui bahwa dirinyalah yang memberikan interuksi kepada pamannya untuk melakukan itu. Mendengar pengakuan itu, raja tetap berpura-pura amat terkesan kepadanya, dan raja berkata bahwa ia akan memperlakukan sang ratu dengan istimewa, serta memberi penghargaan kepada kerabat-kerabatnya.
Maka, kerabat-kerabat ratu Magandiya diundang, dan mereka datang dengan senang hati. Pada saat tiba di istana, setelah semuanya berkumpul, termasuk ratu Magandiya, mereka semua diikat dan dibakar di halaman gedung pengadilan atas perintah raja.
Pada saat Sang Buddha diberitahukan tentang kedua kejadian itu, Ia berkata bahwa mereka yang waspada tidak akan mati, namun mereka yang lalai adalah bagaikan orang mati walaupun masih hidup.
Lalu Sang Buddha mengucapkan ketiga ayat itu.
Dhammapada ayat 021, 022, dan 023 bab Syair Kewaspadaan