Kisah Biksuni Rupananda - Dhammapada
Kisah Biksuni Rupananda
Atthinam nagaram katam,
mamsalohita lepanam,
yattha jara ca maccu ca,
mano makkho ca ohito.
Tubuh ini terbentuk dari tulang belulang,
dan ditutupi dengan daging dan darah,
di tubuh ini terdapat kehancuran dan kematian,
harga diri dan iri hati.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan Janapadakalyani.
Tuan putri Janapadakalyani adalah putri dari ratu Pajapati Gotami, ibu tiri pangeran Siddharta. Karena ia sangat cantik maka ia dikenal dengan sebutan Rupananda. Ia menikah dengan Nanda, sepupu Sang Buddha.
Pada suatu hari, ia berpikir dalam hati, "Abang tertuaku yang mampu menjadi seorang Guru Dunia telah meninggalkan keduniawian dan menjadi seorang biksu, kini ia menjadi seorang Buddha."
"Rahula, putra abang tertuaku, dan suamiku, pangeran Nanda, telah menjadi biksu. Ibuku, Gotami, juga telah menjadi biksuni, dan aku sendirian di sini."
Setelah berpikir demikian, ia pergi ke vihara biksuni dan menjadi biksuni. Demikianlah, ia menjadi biksuni bukan karena keyakinan, namun hanya mengikuti orang lain dan karena kesepian.
Rupananda sering mendengar dari biksuni-biksuni lainnya bahwa Sang Buddha sering mengajarkan tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan ketanpaintian dari Kelompok Kehidupan (khandha). Maka ia berpikir bahwa Sang Buddha pasti akan membicarakan tentang penampilannya yang menawan jika mereka bertemu.
Oleh sebab itulah, ia selalu menghindar untuk bertemu dengan Sang Buddha. Namun, para biksuni yang pulang dari vihara, selalu memuji Sang Buddha. Maka, pada suatu hari, ia memutuskan untuk pergi ke vihara bersama para biksuni.
Sang Buddha melihatnya dan berpikir, "Duri hanya dapat diatasi dengan duri. Rupananda sangat melekat kepada tubuhnya dan sangat bangga dengan kecantikannya. Aku harus melenyapkan kebanggaan dan kemelekatan yang ada di dalam dirinya karena kecantikannya."
Dengan kekuatan batin-Nya, Sang Buddha membentuk bayangan seorang gadis yang sangat cantik berusia 16 tahun dan duduk di dekat-Nya, mengipasi diri-Nya. Gadis cantik itu hanya terlihat oleh Rupananda dan Sang Buddha.
Saat Rupananda melihat gadis itu, ia sadar bahwa bila membandingkan dirinya dengan gadis itu, dirinya hanya bagaikan wanita tua, bagaikan seekor gagak jelek dibandingkan dengan seekor angsa putih yang anggun.
Rupananda memperhatikan dengan saksama gadis itu dan ia merasa sangat mengaguminya. Lalu, ia melihat gadis itu lagi dan cukup terkejut karena gadis itu telah tumbuh seperti gadis berusia 20-an tahun.
Lagi, dan lagi, ia melihat sosok di dekat Sang Buddha itu dan setiap kali ia melihatnya ia mendapati bahwa gadis itu telah tumbuh lebih dewasa dan menua. Demikianlah, gadis itu berubah menjadi wanita dewasa, lalu menjadi wanita separuh baya, wanita tua, lebih tua dan sangat tua.
Rupananda memperhatikan bahwa dengan munculnya sebuah bayangan baru, bayangan lama akan lenyap, dan ia menyadari bahwa tiada proses yang berkelanjutan dari perubahan dan pelapukan tubuh. Dengan penyadaran ini, kemelekatannya kepada tubuh lenyap.
Sementara itu, sosok yang berada di dekat Sang Buddha telah menjadi seorang wanita yang sangat tua renta, yang tidak mampu lagi mengendalikan fungsi tubuhnya, dan berguling-guling di atas kotorannya sendiri. Akhirnya, ia mati. Tubuhnya bernanah, membengkak, dan belatung-belatung keluar dari 9 lubang tubuhnya. Burung-burung gagak dan burung-burung bangkai mencoba mematuk mayatnya.
Setelah melihat semua itu, Rupananda menyadari, "Gadis muda ini menjadi tua dan renta lalu meninggal di tempat ini di depan mataku. Dengan cara yang sama, tubuhku juga akan menjadi tua dan rusak. Itu adalah subjek penyakit dan aku juga akan mati."
Demikianlah, ia memahami kesunyataan dari Kelompok Kehidupan. Pada titik itu, Sang Buddha membahas tentang ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan ketanpaintian dari Kelompok Kehidupan, dan Rupananda mencapai kesucian tingkat sotapanna.
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, Rupananda mencapai kesucian arahat.
Dhammapada ayat 150 bab Syair Usia Tua