Kisah Pendana Buah Pertama - Dhammapada
Kisah Pendana Buah Pertama
Sabbaso namarupasmim,
yassa natthi mamayitam,
asata ca na socati,
sa ve bhikkhu ti vuccati.
Ia yang tidak memikirkan aku dan milikku,
apapun yang berhubungan dengan pikiran dan tubuh.
Ia yang tidak bersedih dengan apa yang tidak ia miliki,
maka ia pantas disebut seorang biksu.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan seorang brahmana yang mempunyai kebiasaan mendanakan 5 buah pertamanya*.
Buah Pertama yang dimaksud adalah hasil tani, di sini mengacu pada tanaman padi. 5 Buah Pertama adalah padi pertama yang dipanen, padi pertama yang dipecah kulitnya menjadi beras, beras pertama yang disimpan, beras pertama yang dimasak menjadi nasi, dan nasi pertama yang ditaruh di tempat nasi.
Pada suatu hari, di dalam renungan Sang Buddha, Ia melihat seorang brahmana dan istrinya. Sang Buddha mengetahui bahwa waktunya sudah matang bagi pasangan itu untuk mencapai kesucian tingkat anagami. Oleh sebab itu, Sang Buddha berangkat menuju rumah pasangan itu dan berdiri di depan pintu rumah mereka untuk menerima dana makanan.
Brahmana yang sedang makan itu, terhalang pandangannya oleh perabotan rumah sehingga ia tidak melihat Sang Buddha. Istrinya yang berada di dekatnya melihat Sang Buddha, namun ia khawatir jika suaminya melihat Sang Buddha datang menerima dana makanan maka suaminya akan mendanakan semua nasi yang ada di periuk sehingga, jika demikian kejadiannya, ia harus masak lagi.
Dengan pikiran seperti itu, istri brahmana itu berdiri membelakangi suaminya agar suaminya tidak dapat melihat kehadiran Sang Buddha. Istrinya kemudian diam-diam melangkah mundur dan perlahan-lahan mendekati Sang Buddha, dan berbisik kepada-Nya, "Bhante! Kami tidak memiliki makanan untuk-Mu hari ini."
Sang Buddha memutuskan untuk tidak meninggalkan rumah itu, Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala-Nya. Melihat hal itu, istri brahmana itu tidak dapat mengendalikan dirinya dan ia tertawa terbahak-bahak.
Seketika itu juga, brahmana itu menoleh dan terlihatlah Sang Buddha. Saat ia telah mengetahui apa yang dilakukan istrinya, ia berteriak, "Kau, istri jahat! Kau telah menghancurkan diriku."
Brahmana itu mengambil piringnya yang berisi nasi dan mendekati Sang Buddha. Ia meminta maaf, "Bhante! Mohon terimalah nasi yang telah kumakan separuhnya."
Sang Buddha berkata, "Brahmana! Beras berjumlah bagaimanapun tetap cukup bagi-Ku, walau sudah dimakan separuh maupun belum, bahkan itu adalah sesendok nasi terakhir."
Brahmana itu sangat terkejut dengan jawaban Sang Buddha, di waktu yang bersamaan, hal itu membuat dirinya merasakan bahagia karena dana makanannya diterima oleh Sang Buddha.
Selanjutnya, brahmana itu bertanya apa sifat-sifat yang harus dimiliki seorang biksu dan bagaimana seseorang dinilai layak sebagai biksu.
Sang Buddha tahu bahwa sepasang suami-istri brahmana itu telah memperoleh sedikit pencerahan tentang pikiran dan tubuh (nama-rupa), maka Ia menjawab, "Brahmana! Ia yang tidak melekat kepada pikiran dan tubuh disebut sebagai seorang biksu."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, pasangan brahmana itu mencapai kesucian tingkat anagami.
Dhammapada ayat 367 bab Syair Biksu