Kisah Ahipeta - Dhammapada
Kisah Ahipeta
Na hi papam katam kammam,
sajju khiramva muccati,
dahantam balarnanveti,
bhasmacchannova pavako.
Sebuah benih karma buruk tidak akan segera berbuah,
bagaikan susu yang baru diperah tidak akan segera mengental,
namun benih kejahatan mengikuti si bodoh,
membakarnya bagaikan bara api yang tertutup abu.
Sang Buddha mengucapkan ayat itu pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan hantu preta berkepala manusia dan bertubuh ular (ahipeta).
Pada suatu hari, murid utama, biksu Maha Moggallana, sedang berkeliling menerima dana makanan bersama biksu Lakkhana di kota Rajagaha. Saat melihat sesuatu, ia tersenyum tanpa berbicara apapun.
Saat mereka kembali ke vihara, biksu Maha Moggallana memberitahukan kepada biksu Lakkhana bahwa ia tersenyum karena ia melihat hantu preta yang bertubuh ular dan berkepala manusia.
Sang Buddha lalu berkata bahwa Ia sendiri juga melihat hantu preta itu pada hari Ia mencapai kebuddhaan. Sang Buddha juga menjelaskan bahwa, pada masa yang sangat lama dahulu, terdapat seorang paccekabuddha yang amat dihormati oleh masyarakat.
Orang-orang yang pergi ke vihara harus melalui sebidang ladang. Pemilik ladang takut kalau-kalau ladangnya akan rusak karena terlalu banyak orang yang hilir mudik dari vihara. Ia lalu membakar vihara itu.
Akibatnya, paccekabuddha itu harus pindah ke tempat lain. Sedangkan umat paccekabuddha amat marah kepada pemilik ladang, dan memukulinya hingga tewas. Setelah mati ia terlahir ke alam neraka Avici. Di kehidupannya sekarang ini, ia berbentuk hantu preta untuk menerima sisa-sisa akibat kejahatan yang telah ia lakukan.
Sebagai kesimpulannya, Sang Buddha berkata, "Sebuah kejahatan tidak berbuah dengan segera, namun hal itu mengikuti pelaku kejahatan. Tiada tempat untuk menghindari akibat sebuah tindak kejahatan."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu.
Dhammapada ayat 071 bab Syair Orang Bodoh