Kisah Biksu Jambuka - Dhammapada
Kisah Biksu Jambuka
Mase mase kusaggena,
balo bhunjeyya bhojanam,
na so sankhatadhammanam,
kalam agghati solasim.
Walau selama berbulan-bulan berhemat,
si bodoh makan dengan ujung rumput,
namun tidak bernilai seperenambelas bagian,
dibandingkan orang yang menguasai Kebenaran.
Sang Buddha mengucapkan ayat itu pada saat berada di vihara Jetavana, sehubungan dengan biksu Jambuka.
Seorang kaya raya di kota Savatthi memiliki seorang putra. Karena akibat karma buruknya ia terlahir dengan berbagai kebiasaan menyimpang.
Semasa kanak-kanak, ia tidur di lantai tanpa tempat tidur yang layak, dan memakan kotorannya sendiri bukannya makan nasi. Saat ia dewasa, orang tuanya mengirimkannya kepada para ajivaka, para pertapa telanjang. Saat para pertapa itu mengetahui kebiasaan makannya yang aneh mereka mengusirnya.
Pada malam hari ia makan kotoran manusia dan pada siang hari ia berdiri dengan satu kaki sambil membuka mulutnya. Ia berkata bahwa ia membuka mulutnya karena ia hidup hanya dengan udara dan ia berdiri dengan satu kaki karena bumi akan terlalu berat menahannya.
"Aku tidak pernah duduk, aku tidak pernah tidur," bangganya dan karena hal itu ia dikenal dengan sebutan Jambuka, si sombong.
Banyak orang yang percaya kepadanya dan beberapa di antaranya mengunjunginya dan mempersembahkan makanan pilihan. Jambuka menolaknya dan berkata, "Aku tidak makan apapun kecuali udara."
Bila dipaksa maka ia akan mengambil sedikit makanan dengan ujung rumput lalu berkata, "Pergilah, secuil ini akan membuahkan kebajikan yang cukup untukmu."
Dengan cara itu, Jambuka hidup selama 55 tahun, telanjang dan hanya makan kotoran.
Pada suatu hari, Sang Buddha melihat dengan mata dewa-Nya bahwa dalam waktu dekat Jambuka akan memiliki kesempatan untuk mencapai kearahatan.
Malam harinya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana Jambuka berada dan bertanya kepadanya tempat untuk bermalam. Jambuka menunjukkan kepada-Nya sebuah gua yang tak jauh dari lempengan batu tempatnya berada.
Selama masa pertama, kedua dan ketiga malam hari, 4 raja dewa surga Catur Maha Rajika; Sakka, raja dewa surga Trayastimsa; dan dewa Maha Brahma, datang untuk bersujud kepada Sang Buddha secara bergilir.
Selama semua kejadian itu, hutan terang menderang dan Jambuka melihat sinar cahaya sebanyak 3 kali. Pada pagi harinya, ia mendatangi Sang Buddha dan bertanya tentang cahaya-cahaya itu.
Saat diberitahukan tentang para dewa, Sakka dan Maha Brahma yang datang bersujud kepada Sang Buddha, Jambuka amat terkesan, dan berkata, "Kau pasti orang yang amat luar biasa sehingga para dewa, Sakka, dan Maha Brahma datang dan bersujud kepada-Mu. Sedangkan aku, walaupun aku melatih pertapaan selama 55 tahun, hidup dengan udara dan berdiri dengan satu kaki, tidak ada dewa, atau Sakka, ataupun Maha Brahma yang datang menemuiku."
Sang Buddha berkata kepadanya, "Jambuka. Kau telah mengelabui orang-orang, namun kau tidak dapat mengelabui-Ku. Aku tahu bahwa selama 55 tahun kau memakan kotoran dan tidur di tanah."
Selanjutnya, Sang Buddha menjelaskan kepadanya bagaimana pada suatu kehidupannya di masa Kassapa Buddha, ia telah menghalangi seorang biksu untuk pergi bersamanya ke rumah seorang umat yang mengadakan persembahan dana makanan, serta bagaimana ia membuang makanan yang dititipkan untuk biksu itu. Karena perbuatan jahat itulah Jambuka harus memakan kotoran dan tidur di atas tanah.
Mendengar hal itu, Jambuka histeris dan ketakutan, dan bertobat karena bertindak jahat dan telah mengelabui orang-orang. Ia berlutut dan Sang Buddha memberikan kepadanya pakaian.
Sang Buddha lalu memberikan khotbah Dhamma, dan akhirnya Jambuka mencapai kearahatan dan bergabung dengan Sangha di situ juga.
Setelah kejadian itu, murid-murid Jambuka dari kerajaan Anga dan kerajaan Magadha tiba dan mereka terkejut melihat guru mereka bersama Sang Buddha. Biksu Jambuka lalu memberitahukan kepada murid-muridnya bahwa ia telah bergabung dengan Sangha dan ia sudah menjadi murid Sang Buddha.
Kepada murid-murid Kambuka, Sang Buddha berkata bahwa walaupun guru mereka telah hidup sederhana dengan memakan makanan sebanyak ujung rumput, namun itu tidak senilai dengan seperenambelas bagian dari kemajuan dan latihannya sekarang ini.
Lalu Sang Buddha mengucapkan ayat itu.
Dhammapada ayat 070 bab Syair Orang Bodoh