Kisah Brahmana Aggidatta - Dhammapada
Kisah Brahmana Aggidatta
Bahum ve saranam yanti,
pabbatani vanani ca,
aramarukkhacetyani,
manussa bhayatajjita.
Netam kho saranam khemam,
netam saranamuttamam,
netam saranamagamma,
sabbadukkha pamuccati.
Yo ca buddhanca dhammanca,
samghanca saranam gato,
cattari ariyasaccani,
sammappannaya passati.
Dukkham dukkhasamuppadam,
dukkhassa ca atikkamam,
ariyam catthangikam maggam,
dukkhupasamagaminam.
Etam kho saranam khemam,
etam saranamuttamam,
etam saranamagamma,
sabbadukkha pamuccati.
Di saat terancam,
orang-orang mencari perlindungan,
ke gunung dan hutan,
serta ke pohon keramat.
Perlindungan semacam itu tidaklah aman,
bukan tempat berlindung yang baik,
orang yang belum bebas dari sebab kejahatan,
akan mencari perlindungan seperti itu.
Hanya berlindung kepada,
Buddha, Dhamma, dan Sangha,
seseorang dapat mengerti Empat Kesunyataan Mulia,
memperoleh kebijaksanaan.
Penderitaan,
penyebab penderitaan,
Jalan Mulia Berunsur Delapan,
untuk melenyapkan penderitaan.
Itulah tempat paling aman untuk berlindung,
tempat paling benar untuk berlindung,
orang yang datang berlindung,
akan terbebaskan dari penderitaan.
Sang Buddha mengucapkan kelima ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan seorang brahmana yang bernama Aggidatta.
Aggidatta adalah kepala pendeta pada masa pemerintahan raja Mahakosala, ayah dari raja Pasenadi. Setelah raja Mahakosala meninggal dunia, ia mendanakan hartanya, setelah itu ia meninggalkan rumahnya dan menjadi seorang pertapa. Ia hidup bersama dengan 10.000 pengikutnya di sebuah tempat dekat perbatasan antara 3 kerajaan; Anga, Magadha dan Kuru, tidak jauh dari bukit pasir yang dihuni oleh seekor naga yang perkasa.
Aggidatta sering berkata kepada para pengikutnya dan masyarakat sekitar perbatasan ketiga kerajaan itu, "Hormatilah hutan, gunung dan pepohonan, karena dengan demikian, kalian akan terbebas dari penderitaan hidup."
Pada suatu hari, Sang Buddha melihat Aggidatta dan pengikut-pengikutnya lewat kesaktian-Nya dan mengetahui bahwa mereka telah memiliki kesempatan untuk mencapai kearahatan. Sang Buddha pun mengutus biksu Maha Moggalana pergi menemui Aggidatta dan Sang Buddha akan menyusulnya kemudian.
Biksu Maha Moggalana mendatangi Aggidatta dan pengikut-pengikutnya dan meminta mereka mengizinkan dirinya untuk menginap semalam. Mereka menolaknya, tetapi akhirnya mereka bersepakat untuk membiarkannya bermalam di bukit pasir, rumah naga.
Di sana, naga itu sangat murka kepada biksu Maha Moggalana dan terjadilah pertarungan antara mereka. Masing-masing dari mereka mengeluarkan kekuatan asap dan api. Pada akhirnya, naga itu kalah. Naga itu pun melingkari bukit pasir dengan tubuhnya, kemudian mengangkat dan melebarkan kepalanya bagaikan payung di atas biksu Maha Moggalana sebagai tanda hormatnya.
Pada saat pagi-pagi sekali, Aggidatta dan pertapa lainnya datang ke bukit pasir untuk melihat apakah biksu Maha Moggalana masih hidup. Harapan mereka adalah biksu Maha Moggalana sudah tewas. Akan tetapi, pada saat mereka melihat naga itu telah jinak dan dengan lembut menegakkan kepalanya seperti payung di atas biksu Maha Moggalana, mereka sangat terkesan.
Setelah itu, Sang Buddha tiba dan biksu Maha Moggalana bangkit dari tempat duduknya di atas bukit dan bersujud kepada-Nya. Biksu Maha Moggalana lalu berkata kepada para pertapa yang hadir, "Inilah guruku, Sang Buddha yang maha agung, dan aku hanyalah murid dari guru agung ini."
Setelah mendengar perkataan dari biksu Maha Moggalana, para pertapa yang telah sangat terkesan dengan kekuatan biksu Maha Moggalana, kini amat terpesona dengan kekuatan Sang Buddha. Sang Buddha lalu bertanya kepada Aggidatta apa yang ia ajarkan kepada pengikut-pengikutnya dan masyarakat.
Aggidatta menjawab bahwa ia mengajarkan kepada mereka untuk menghormati gunung, hutan dan pepohonan, karena dengan demikian mereka akan terbebas dari penderitaan hidup.
Sang Buddha berkata kepada Aggidatta, "Aggidatta, orang-orang pergi ke gunung, hutan, dan pepohonan untuk mencari perlindungan pada saat mereka merasa tidak aman, akan tetapi, semua itu tidak dapat memindungi mereka. Hanya mereka yang berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha, yang akan terbebas dari roda kelahiran dan kematian."
Lalu Sang Buddha mengucapkan ayat-ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha itu, Aggidatta dan semua pengikutnya mencapai kesucian tingkat arahat. Mereka semua memasuki Sangha.
Pada hari itu juga, pada saat umat-umat Aggidatta dari Anga, Magadha dan Kuru datang untuk bersujud kepadanya, mereka melihat guru mereka dan pengikut-pengikutnya berpakaian seperti biksu. Mereka sangat kebinggungan dan bertanya-tanya, "Siapakah yang lebih hebat? Guru kita atau pertapa Gotama? Guru kita pastilah lebih hebat karena pertapa Gotama harus datang menghadap guru kita."
Sang Buddha mengetahui jalan pikiran mereka, begitu juga dengan Aggidatta, sehingga ia merasa perlu meluruskan pikiran umat-umatnya. Ia pun bersujud kepada Sang Buddha di depan mereka dan berkata, "Bhante. Kaulah guruku, dan aku hanyalah murid-Mu." Dengan demikian, masyarakat akhirnya mengetahui keagungan dari Sang Buddha.
Dhammapada ayat 188, 189, 190, 191 dan 192 bab Syair Buddha