Kisah Seorang Biksu (3)- Dhammapada
Kisah Seorang Biksu (3)
Yo ve uppatitam kodham,
ratham bhantamva varaye,
tamaham sarathim brumi,
rasmiggaho itaro jano.
Orang yang dapat menahan kemarahan,
seperti menahan kereta yang sedang melaju kencang,
ialah seorang kusir sejati,
sedangkan kusir lainnya hanya pemegang kendali belaka.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di stupa Aggalava, di dekat kota Alavi, sehubungan dengan seorang biksu.
Pada suatu ketika, seorang biksu dari Alavi ingin membangun sebuah gubuk dan ia pun mulai menebang sebatang pohon. Dewi yang tinggal di pohon (Dewa Penunggu Pohon/Rukkha Devata) itu mencoba menghentikannya dengan berkata bahwa ia dan bayinya tidak punya tempat untuk tinggal.
Gagal menghentikan biksu itu, dewi itu meletakkan bayinya pada sebatang dahan dengan harapan tindakan itu akan menghentikan biksu itu dari menebang pohonnya. Namun terlambat, biksu itu yang telah berancang-ancang, telah mengayunkan kapaknya. Ia tidak mampu lagi menghentikan gerakannya sendiri dan tanpa sengaja memotong tangan bayi itu hingga putus.
Melihat tangan bayinya terpotong, dewi itu seketika itu juga mengamuk dan ingin membunuh biksu itu. Pada saat ia mengangkat kedua tangannya untuk menyerang biksu itu, tiba-tiba muncul dalam pikirannya, "Jika aku membunuh seorang biksu, berarti aku telah membunuh seorang yang tengah menjalankan sila. Jika demikian, aku pasti akan menderita di alam neraka. Dewa-dewa penunggu pohon lainnya juga akan mengikuti tindakanku dan biksu-biksu akan terbunuh. Namun, biksu ini punya guru. Aku harus pergi menemui gurunya."
Dewi itu sambil menangis pergi menemui Sang Buddha dan melaporkan apa yang telah menimpa mereka. Sang Buddha berkata kepadanya, "Rukkha devata, kau telah mengendalikan dirimu dengan sangat baik."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha itu, dewi itu mencapai kesucian tingkat sotapanna.
Karena tidak memiliki tempat tinggal lagi maka Sang Buddha menawarkan kepadanya untuk tinggal sementara di sebuah pohon yang berada di dekat Aula Keharuman. Semenjak peristiwa itu, Sang Buddha menetapkan peraturan para biksu tidak boleh memotong vegetasi, semisal rumput, tanaman, semak dan pepohonan.
Dhammapada ayat 222 bab Syair Kemarahan