Kisah Anak Seorang Penjagal-Dhammapada
Kisah Anak Seorang Penjagal
Pandupalasova danisi,
yamapurisapi ca te upatthita,
uyyogamukhe ca titthasi,
patheyyampi ca te na vijjati.
So karohi dipamattano,
khippam vayama pandito bhava,
niddhantamalo anangano,
dibbam ariyabhumim upehisi.
Upanitavayo ca danisi,
sampayatosi yamassa santikam,
vase te natthi antara,
patheyyampi ca te vijjati.
So karohi dipamattano,
khippam vayama pandito bhava,
niddhantamalo anagano,
na punam jatijaram upehisi.
Kau kini bagaikan daun layu,
utusan kematian sedang menunggumu,
kau akan menempuh perjalanan jauh,
namun kau belum memiliki bekal.
Buatlah pulau bagi dirimu sendiri,
berjuanglah segera agar menjadi bijak,
setelah noda-noda dan nafsu dibersihkan,
kau akan memasuki alam para ariya.
Kehidupanmu akan segera berakhir,
kau sedang berjalan menuju kematian,
tiada tempat beristirahat bagimu,
namun kau belum memiliki bekal.
Buatlah pulau bagi dirimu sendiri,
berjuanglah segera agar menjadi bijak,
setelah noda-noda dan keinginan dibersihkan,
kau tidak akan lagi lahir dan tua.
Sang Buddha mengucapkan ayat-ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan putra seorang penjagal.
Pada suatu ketika, di Savatthi terdapat seorang pria yang sudah menjalani profesi sebagai penjagal selama 55 tahun. Selama ini, ia membantai hewan-hewan ternak lalu menjual dagingnya dan setiap hari ia selalu membawa kari daging dan nasi sebagai bekalnya.
Pada suatu hari, ia memberikan sejumlah daging kepada istrinya untuk dimasak, lalu ia pergi ke tepi sungai untuk mandi. Pada saat ia tidak ada, seorang temannya membujuk istrinya agar menjual daging itu kepadanya. Akhirnya, tidak ada kari daging lagi untuk penjagal itu pada hari itu.
Karena penjagal itu tidak pernah makan tanpa kari daging, ia segera pergi ke halaman belakang rumahnya di mana seekor lembu sedang berdiri. Ia dengan cekatan memotong lidah lembu itu dan memanggangnya.
Pada saat makan, pada saat penjagal itu akan menggigit lidah lembu itu, malah lidahnya sendiri yang tergigit hingga putus dan jatuh ke piring makannya. Jadi, lembu dan penjagal itu kini berada di situasi yang sama, lidah mereka terpotong.
Penjagal itu amat kesakitan dan sangat menderita. Ia merangkak sementara darah menetes keluar dari dalam mulutnya. Akhirnya penjagal itu meninggal dunia dan terlahir kembali di alam neraka.
Istri penjagal itu sangat terguncang sehingga ia ingin putranya pergi ke tempat lain agar jangan sampai tertimpa kejahatan seperti itu. Akhirnya ia mengirim anaknya ke kota Taxila.
Di Taxila, anaknya mempelajari kerajinan emas. Kemudian, ia menikah dengan putri gurunya dan lahirlah beberapa orang anak. Pada saat anak-anaknya sudah cukup umur, ia membawa keluarganya kembali ke Savatthi.
Anak-anaknya sangat yakin terhadap Buddha dan mempelajarinya. Mereka amat mengkhawatirkan ayah mereka yang hidup tanpa keyakinan dan agama ataupun tujuan kehidupan berikutnya.
Pada suatu hari, mereka mengundang Sang Buddha dan para biksu ke rumah mereka untuk menerima persembahan dana makanan.
Setelah selesai makan, mereka berkata kepada Sang Buddha, "Bhante, kami melakukan persembahan kepada-Mu hari ini atas nama ayah kami. Mohon berikanlah ajaran yang khusus kepadanya."
Sang Buddha pun berkata, "Umatku. Kau mulai tua, namun kau masih belum memiliki kebajikan yang akan kau jadikan bekal dalam perjalanan kehidupan mendatangmu. Kau seharusnya membantu dirimu sendiri."
Sang Buddha lalu mengucapkan keempat ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha itu, ayah mereka mencapai kesucian tingkat anagami.
Dhammapada ayat 235, 236, 237 dan 238 bab Syair Noda-Noda