Kisah Biksuni Patacara - Dhammapada
Kisah Biksuni Patacara
Yo ca vassasatam jive,
Apassam udayabbayam**,
Ekaham jivitam seyyo,
Passato udayabbayam.
Udayabbayam adalah muncul dan lenyapnya Lima Kelompok Kehidupan (Panca Khanda). Pengetahuan tentang ketidakkekalan Lima Kelompok Kehidupan ini dapat diperoleh lewat latihan meditasi perenungan.
Daripada hidup seratus tahun,
sebagai orang yang tidak menyadari muncul-lenyapnya Lima Kelompok Kehidupan,
lebih baik hidup sehari,
sebagai orang yang menyadari muncul-lenyapnya Lima Kelompok Kehidupan.
Sang Buddha mengucapkan ayat itu pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan biksuni Patacara.
Patacara adalah putri dari keluarga kaya-raya di Savatthi. Ia amat cantik dan orang tuanya amat protektif terhadapnya. Namun, suatu hari, ia kawin lari dengan salah seorang pelayan muda keluarganya dan tinggal di sebuah desa. Ia pun menjalani hidup sebagai istri seorang pemuda miskin.
Pada suatu waktu, Patacara hamil dan mendekati masa melahirkan. Ia meminta izin dari suaminya untuk pulang ke rumah orang tuanya di Savatthi. Sudah menjadi tradisi pada masa itu, wanita melahirkan di rumah orang tuanya. Namun, suaminya tidak mengizinkannya.
Maka, suatu hari, pada saat suaminya tidak ada di rumah, ia pergi ke rumah orang tuanya. Ternyata suaminya telah mengendus niatnya, dan mengikutinya dan menghentikannya di tengah perjalanan, lalu meminta ia kembali ke rumah. Namun, ia menolak permintaan suaminya. Karena waktu melahirkan sudah tiba akhirnya ia melahirkan seorang putra di dekat semak belukar. Setelah itu mereka kembali ke rumah.
Terulang lagi, Patacara mengandung lagi dan hari melahirkan sudah dekat. Ia menggandeng putra sulungnya dan pergi menuju rumah orang tuanya yang berada di Savatthi. Lagi-lagi, suaminya mengikutinya dan menghentikannya di tengah perjalanan. Namun, waktu untuk melahirkan lebih cepat dari dugaan dan kebetulan turun hujan deras, suaminya pergi mencari tempat yang cocok untuk melahirkan.
Tanpa diduga, saat suaminya sedang membersihkan tempat itu, seekor ular berbisa mengigitnya. Suaminya tewas seketika. Patacara menunggu-nunggu suaminya yang tidak kembali-kembali. Ia pun melahirkan putra keduanya di tengah penantiannya itu.
Pagi harinya, Patacara mencari suaminya, dan hanya menemukan jenasah suaminya. Ia berkata dalam hati bahwa suaminya meninggal karena dirinya. Ia kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah orang tuanya.
Disebabkan hujan lebat semalaman, air sungai Aciravati meluap, dan tidak mungkin dapat diseberangi oleh Patacara sambil membawa dua orang anak. Maka ia meninggalkan putra sulungnya di tepi sungai dan dengan menggendong anaknya yang berusia 1 hari itu menyeberangi sungai.
Setibanya di seberang sungai, ia meletakkan bayinya di tepi sungai dan menyeberang kembali menuju sisi seberang untuk menjemput putra sulungnya.
Pada saat Patacara berada di tengah-tengah sungai, seekor elang besar melayang-layang di atas bayi itu dan membawanya pergi untuk disantap. Patacara berteriak-teriak untuk menakut-nakuti elang besar itu, namun sia-sia saja. Bayinya dibawa pergi oleh elang besar itu.
Sementara itu, pada saat Patacara berdiri di tengah-tengah sungai berteriak-teriak menakut-nakuti elang besar itu, putra sulungnya mengira ibunya memanggil dirinya. Lantas ia menelusuri sungai untuk mencapai tempat ibunya berada. Karena arus terlalu kuat, ia terseret dan hanyut. Demikianlah, Patacara telah kehilangan suami dan dua orang anaknya.
Patacara menangis dan meratap, "Seorang anak dibawa pergi oleh seekor elang, anak lainnya dibawa pergi oleh arus deras, suamiku juga meninggal digigit ular berbisa."
Lalu Patacara melihat seseorang yang datang dari arah Savatthi, dan ia dengan berderai air mata bertanya kepada orang itu keadaan kedua orang tuanya.
Orang itu berkata bahwa karena badai semalam di Savatthi, rumah orang tua Patacara roboh sehingga kedua orang tuanya beserta 3 orang saudara laki-lakinya tewas, dan sudah dikremasi secara bersamaan.
Mendengar kabar tragis itu, Patacara menggila, ia bahkan tidak menyadari pakaiannya melorot dan ia hampir telanjang. Ia menelusuri jalan-jalan sambil meneriakkan kesedihannya.
Pada suatu hari, pada saat Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma di vihara Jetavana, ia melihat Patacara di kejauhan. Sang Buddha berharap Patacara bisa datangi persamuan.
Khalayak ramai yang melihat Patacara yang berjalan mengarah ke vihara Jetavana, berusaha menghentikannya, mereka berkata, "Jangan biarkan wanita gila ini masuk."
Namun, Sang Buddha meminta masyarakat tidak menghentikan langkah Patacara untuk masuki vihara. Setelah Patacara masuk dan dapat mendengar suara Sang Buddha, Ia memintanya untuk mawas diri dan tenang. Setelah itu, Patacara baru menyadari bahwa tubuhnya hampir tidak berpakaian dan duduk dengan rasa malu.
Kemudian ada orang memberikan Patacara pakaian, dan ia segera mengenakannya. Lalu ia menceritakan kepada Sang Buddha tentang kematian kedua anak, suami, orang tua dan saudara-saudaranya.
Sang Buddha berkata kepadanya, "Patacara, janganlah takut. Kau telah datang ke tempat yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Oleh karena roda kehidupan (samsara), jumlah air mata yang kau teteskan karena kehilangan anak-anak, suami-suami, orang tua-orang tua, dan saudara-saudaramu jumlah tetesannya sudah tak terhitung. Jumlahnya bahkan telah melebihi air di 4 samudera."
Sang Buddha lalu membabarkan kepadanya Sutra Anamatagga, yang menguraikan tentang kelahiran yang tak terhitung, dan ia merasa lega. Lalu Sang Buddha menggarisbawahi bahwa seseorang seharusnya tidak berpikir terlalu banyak tentang mereka yang telah tiada, namun seseorang seharusnya menyucikan dirinya dan berusaha menggapai nibbana. Setelah mendengar nasihat Sang Buddha itu, ia mencapai kesucian sotapanna. Lalu, ia menjadi seorang biksuni.
Sang Buddha mengucapkan sebuah ayat Dhammapada bab Jalan (Magga Vagga) yang berhubungan dengan pencapaian kesucian sotapanna Patacara. Baca Kisah Biksuni Patacara(2).
Pada suatu hari, Patacara membersihkan kakinya dengan air yang ada di dalam ember. Pada saat pertama kali ia menuangkan air, air hanya mengalir tak jauh dan menghilang diserap tanah. Lalu ia menuangkan air lagi dan aliran air sedikit menjauh. Tetapi, pada saat ia menuangkan lagi, aliran air semakin menjauh.
Pada saat ia melihat peristiwa aliran air dan menghilangnya air yang dituangnya 3 kali, ia mendapat pandangan terang tentang 3 masa dari kehidupan makhluk hidup.
Sang Buddha di vihara Jetavana melihat Patacara lewat kesaktian mata dewa-Nya, lalu Sang Buddha memancarkan sinar agung-Nya dan muncul dihadapannya.
Sang Buddha berkata kepadanya, "Patacara, kau sekarang telah pada jalur yang tepat, dan kau telah melihat sifat asli dari Lima Kelompok Kehidupan. Seseorang yang tidak menyadari ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan ketanpa-intian dari Lima Kelompok Kehidupan adalah hidup tanpa arti, walaupun ia hidup selama 100 tahun."
Lalu Sang Buddha mengucapkan ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, biksuni Patacara mencapai kearahatan.
Dhammapada ayat 113 bab Syair Ribuan