Kisah Biksu Lakundaka Bhaddiya -2- Dhammapada
Kisah Biksu Lakundaka Bhaddiya (2)
Na tena thero so hoti,
yenassa palitam siro,
paripakko vayo tassa,
moghajinno ti vuccati.
Yamhi saccanca dhammo ca,
ahimsa samyamo damo,
sa ve vantamalo dhiro,
thero iti pavuccati.
Walau rambutnya memutih,
bukan berarti ia orang yang bijak,
seseorang yang hanya bertambah usia,
disebut tua dalam kesia-siaan.
Ia yang memiliki kejujuran, kebajikan, tidak menyakiti,
menjalankan sila, dan mengendalikan diri,
bijaksana dan bersih dari kekotoran batin,
ialah sesungguhnya sesepuh.
Pada jaman Sang Buddha, tidak ada istilah Mahathera, yang ada adalah Thera, yaitu sesepuh dan biasa digunakan untuk menyebut siswa yang telah suci (mencapai minimum kesucian tingkat sotapanna).
Sang Buddha mengucapkan kedua ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan biksu Bhaddiya, yang dikenal dengan sebutan Lakundaka Bhaddiya karena tubuhnya yang kerdil.
Pada suatu hari, 30 orang biksu datang untuk bersujud kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa kesempatan telah tiba bagi ketiga puluh biksu itu untuk mencapai kesucian arahat.
Sang Buddha bertanya kepada ke-30 biksu itu apakah mereka melihat seorang sesepuh (thera) saat mereka datang menuju ruangan itu. Mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat seorang sesepuh pun dan mereka hanya melihat seorang samanera muda saat mereka datang.
Lantas Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para biksu! Orang itu bukanlah samanera, ia adalah seorang biksu senior walaupun tubuhnya kecil dan tidak pernah angkuh."
"Telah Aku katakan bahwa seseorang bukanlah sesepuh hanya karena ia terlihat tua dan terlihat seperti manusia suci. Hanya ia yang memahami 4 Kesunyataan Mulia dan tidak menyakiti makhluk lain dapat disebut dengan sesepuh."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat-ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha itu, ketiga puluh biksu itu mencapai kesucian tingkat arahat.
Dhammapada ayat 260 dan 261 bab Syair Orang Adil