Kisah Ekudana, si Arahat - Dhammapada
Kisah Ekudana, si Arahat
Na tavata dhammadharo,
yavata bahu bhasati,
yo ca appampi sutvana,
dhammam kayena passati,
sa ve dhammadharo hoti,
yo dhammam nappamajjati.
Seseorang tidak disebut pendukung Dhamma,
hanya kerena ia banyak bicara.
Seseorang yang mendengar sedikit Dhamma,
memahami dan tidak mengabaikan Dhamma,
ialah seorang pendukung Dhamma.
Sang Buddha mengucapkan ayat ini pada saat berada di vihara Jetavana, di dekat kota Savatthi, sehubungan dengan seorang biksu arahat.
Terdapat seorang biksu yang tinggal di sebuah hutan dekat Savatthi. Karena ia hanya mengetahui sebuah syair tentang nafsu makan (udana) maka ia dikenal dengan sebutan Ekudana, namun ia sangat memahami arti dari Dhamma yang terkandung di dalam syair itu.
Pada setiap hari uposatha, biksu Ekudana akan menganjurkan orang-orang untuk pergi mendengarkan khotbah Dhamma, sementara dia sendiri hanya mengulang-ulangi sebuah syair yang ia hafal itu. Setiap kali ia selesai mengulang, dewa-dewa penunggu hutan akan memujinya dan bertepuk tangan untuk dengan gembira.
Pada suatu hari uposatha, 2 biksu terpelajar yang mahir Tipitaka, diikuti oleh 500 orang biksu mendatangi tempat kediaman biksu Ekudana. Biksu Ekudana meminta kedua biksu itu untuk membabarkan Dhamma.
Kedua biksu itu bertanya apakah banyak orang yang mendengarkan Dhamma di tempat terpencil ini. Biksu Ekudana menjawab dengan tegas dan memberitahukan kepada mereka bahwa dewa-dewa penunggu hutan juga selalu datang dan mereka biasanya akan memuji dan bertepuk tangan setelah khotbah Dhamma selesai.
Kedua biksu terpelajar itu akhirnya bergiliran membabarkan Dhamma, namun pada saat khotbah mereka berakhir tidak ada tepukan tangan dari para dewa penunggu hutan. Kedua biksu itu pun kebingungan, mereka mulai meragukan kata-kata biksu Ekudana. Biksu Ekudana tetap bersikeras bahwa para dewa penunggu hutan biasanya datang dan selalu bertepuk tangan pada akhir khotbah.
Kedua biksu terpelajar itu lalu memaksa biksu Ekudana untuk berkhotbah. Ia kemudian memegang kipas dan membaca syair yang biasanya. Pada akhir pembacaan, para dewa penunggu hutan bertepuk tangan seperti biasanya. Para biksu yang bersama dengan kedua biksu terpelajar itu mengecam bahwa para dewa yang ada di sana sangat pilih kasih.
Mereka melaporkan kejadian itu kepada Sang Buddha. Sang Buddha lalu berkata kepada mereka, "Para biksu! Aku tidak mengatakan bahwa seorang biksu yang telah banyak belajar dan berkhotbah Dhamma adalah pendukung Dhamma (Dhammadhara)."
"Orang yang belajar sedikit dan mengetahui hanya sebait syair Dhamma, namun sangat memahami Empat Kesunyataan Mulia, dan selalu penuh kesadaran, maka ialah seorang pendukung Dhamma sejati."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat itu.
Dhammapada ayat 259 bab Syair Orang Adil