Kisah Menundukkan Diri Sendiri - Dhammapada
Kisah Menundukkan Diri Sendiri
Aham nagova sangame,
capato patitam saram,
ativakyam titikkhissam,
dussilo hi bahujjano.
Dantam nayanti samitim,
dantam rajabhiruhati,
danto settho manussesu,
yotivakyam titikkhati.
Varamassatara danta,
ajaniya ca sindhava,
kunjara ca mahanaga,
attadanto tato varam.
Bagaikan gajah di medan perang,
menahan panah yang dilepaskan.
Aku pun akan mengalami perilaku kasar,
karena sangat banyak orang yang tidak bermoral.
Hanya gajah jinak yang dituntun ke keramaian,
raja hanya menunggangi gajah yang terlatih.
Yang terbaik di antara manusia,
ialah yang mampu menahan perlakuan kasar.
Keledai yang jinak sangat bagus,
kuda sindu yang jinak juga bagus.
Gajah bergading besar yang jinak amat mulia,
yang terbaik adalah ia yang telah menjinakkan dirinya sendiri.
Sang Buddha mengucapkan ketiga ayat ini pada saat berada di vihara Ghositarama, di dekat kota Kosambi, sehubungan dengan kesabaran Sang Buddha saat dicaci oleh orang-orang asing yang disewa ratu Magandiya, salah satu dari 3 ratu utama raja Udena dari kerajaan Vatsa.
Ayah Magandiya, yang sangat terkesan dengan kepribadian dan penampilan Sang Buddha, menawarkan putrinya yang sangat cantik kepada-Nya. Akan tetapi, Sang Buddha menolak tawaran itu dan berkata bahwa Ia tidak ingin menyentuh tubuhnya yang penuh dengan kotoran dan air kencing, walaupun hanya dengan ujung kaki-Nya.
Mendengar ucapan itu, ayah dan ibu Magandiya menyadari kesunyataan dan mencapai kesucian tingkat anagami. Namun, Magandiya memandang Sang Buddha sebagai musuh besarnya dan berniat membalas dendam.
Kemudian, Magandiya menjadi salah satu dari 3 ratu utama raja Udena. Pada saat ia mendengar kabar bahwa Sang Buddha tiba di Kosambi, ia menyewa beberapa orang penduduk dan pelayan-pelayan mereka untuk bertindak kasar terhadap Sang Buddha saat Ia memasuki kota untuk berkeliling menerima dana makanan.
Orang-orang sewaan itu mengikuti Sang Buddha dan mencela-Nya dengan kata-kata kasar, seperti, "pencuri", "bodoh", "unta", "keledai", "penghuni neraka", dan lainnya.
Mendengar kata-kata kasar itu, biksu Ananda menyarankan kepada Sang Buddha untuk meninggalkan kota itu dan pergi ke kota lain.
Sang Buddha menolak dan berkata, "Di kota lain mungkin saja kita juga dicela dan tidaklah mungkin selalu berpindah setiap kali ada orang yang mencela. Lebih baik menyelesaikan masalah di tempat masalah itu muncul."
Sang Buddha melanjutkan, "Aku bagai seekor gajah di medan perang, bagai gajah yang menahan semua anak panah yang dilepaskan dari seluruh penjuru, Aku akan menerima dengan sabar semua celaan yang dituturkan oleh orang-orang yang tidak bermoral."
Sang Buddha lalu mengucapkan ayat-ayat itu. Setelah mendengar ucapan Sang Buddha, orang-orang yang mencela Sang Buddha menyadari kekeliruan mereka dan bersujud kepada-Nya, beberapa orang di antara mereka mencapai kesucian tingkat sotapanna.
Dhammapada ayat 320, 321 dan 322 bab Syair Gajah